Kamis, 04 September 2014

Toper : Belajar Kesendirian

Menjadi seorang toper adalah hal yang luar biasa bagi saya. Saya tidak pernah menyangka akan mendapat banyak pengalaman. Baik pengalaman iman maupun pastoral yang sungguh memperkaya panggilan saya.
Saya yang “dipaksa” rasanya tidak berlebihan pada akhirnya mau tidak mau harus nyemplung ke dalam dunia umat yang meminta kesediaan kita sebagai pelayan sabda Allah. Walau saya sendiri masih seorang frater dan belum ditahbiskan penantian umat begitu terasa dan rindu akan sapaan dari para klerus.
Pengalaman iman yang  saya dapat adalah bagaimana menjalani dan merasakan apa yang harus saya lakukan bila menjadi seorang imam nanti.
Yang pertama akan saya bahas adalah soal kesendirian dan berani untuk sendiri.
Rasanya dalam rangka ini apabila saya membaca membaca Matius 27:46. Ini adalah seruan Yesus dari kayu salib. “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" bahasa Aramik yang berarti: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” 
Dalam ayat 43, orang-orang menyalibkan Dia, mencemooh dan mengolok-olok Dia dan mereka berkata: “Ia menaruh harapan-Nya pada Allah: baiklah Allah menyelamatkan Dia, jikalau Allah berkenan kepada-Nya! Karena Ia telah berkata: Aku adalah Anak Allah.”  

 
Kemudian berserulah Tuhan kita, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” 
Itu terjadi beberapa jam setelah Tuhan berbicara kepada murid-murid-Nya dalam Yohanes 16:32 katanya, “Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu diceraiberaikan masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri. Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku.”
Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku.”
Kemudian berserulah Yesus dari kayu salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Yesus sendiri hidup sendirian bahkan saat ditengah ajalNya. Tapi Ia sendiri memberi peneguhan pada pengikutnya bahwa Ia tidak sendiri karena ada Bapa disampingNya.

Saya yang seringkali di pastoran sendirian. Romo Win dan Romo Indra sibuk misa disana sini tidak merasa kesepian. Apalagi ketika pengalaman saya sakit sendirian tidak berdaya. Mau kemana dan minta tolong siapa? Kalau saya tidak berjuang sendiri, bisa lewat hidup saya.

Ada pada saatnya kita ditugaskan sendirian. Keberadaan sendiri bukan berarti kesepian. Saya selalu ingat akan penyertaan Dia yang membuka tangan-Nya untuk menyambut kita, dan membuat kita begitu dekat dengan-Nya. Apakah Anda ingat Yesaya 49? “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (Yesaya 49:15).
 
 Juga Ibrani 13: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5). Allah selalu bersama kita. Ketika Gehazi meratapi Elisa yang akan segera ditangkap dan ditawan oleh musuh, Elisa berkata, “Jangan takut, sebab lebih banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka” (2 Raja-Raja 6:16). Walaupun pada waktu itu Elisa sendirian, dan nabi itu berdoa katanya, “Ya TUHAN: Bukalah kiranya matanya, supaya ia melihat.” Dan Allah membuka mata Gahazi. “Tampaklah gunung itu penuh dengan kuda dan kereta berapi sekeliling Elisa.” (2 Raja-Raja 6:17).
Para malaikat Tuhan selalu ada di sekeliling kita. Selalu bersama dengan kita. Allah ada di sana. Ketika Rut meninggalkan Moab tanah kelahirannya dan menjadi orang asing di tanah Israel, Allah beserta dengan dia. Dan dia tercatat dalam daftar garis keturunan Tuhan dan Juruselamat kita, Kristus Yesus. Allah beserta kita.

Maka secara fisik maka hidup kita benar benar sendirian. Tapi kita tidak boleh dan tidak bisa dianggap kesepian. Alone but not Loneliness. Ada Allah yang menguatkan saya untuk bertahan. Maka ini juga yang menjadi dasar sebenarnya kenapa para rohaniwan dan biarawan juga sengaja “diijinkan” sendirian. Supaya hidupnya melulu demi memuliakan nama Allah. Supaya ia fokus dan berjuang dalam hidupnya demi mewujudkan kerajaanNya.

Rasanya bila sudah dalam tahap ini memang membutuhkan waktu dan proses belajar yang panjang. Saya jadi ingat ketika bulan pertama sudah 20 frater dan suster yang singgah di pastoran. Satu sisi saya senang karena mereka semua perhatian dan bisa bersosialisasi karena frater sebelumnya belum pernah mengundang satu pun untuk main ke pastoran. Tapi dalam sisi yang lain ternyata ini menimbulkan pertanyaan kalau keseringan? Apakah ini alam ketidak sadaran saya bahwa saya tidak dapat menikmati hidup kesendirian.

Teman itu bisa datang dan pergi. Sahabat pun ada waktu meninggalkan mu dalam kesendirian. Setiap orang pun membutuhkan waktu sendiriannya (me time). Maka saya simpulkan melalui toper ini saya sungguh dilatih dan belajar untuk semakin siap diutus sendiri dan hidup sendirian.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar