Menjadi seorang toper adalah hal yang luar
biasa bagi saya. Saya tidak pernah menyangka akan mendapat banyak pengalaman. Baik
pengalaman iman maupun pastoral yang sungguh memperkaya panggilan saya.
Saya yang “dipaksa” rasanya tidak berlebihan
pada akhirnya mau tidak mau harus nyemplung ke dalam dunia umat yang meminta
kesediaan kita sebagai pelayan sabda Allah. Walau saya sendiri masih seorang
frater dan belum ditahbiskan penantian umat begitu terasa dan rindu akan sapaan
dari para klerus.
Pengalaman iman yang saya dapat adalah bagaimana menjalani dan
merasakan apa yang harus saya lakukan bila menjadi seorang imam nanti.
Yang pertama akan saya bahas adalah soal
kesendirian dan berani untuk sendiri.
Rasanya dalam rangka ini apabila saya membaca membaca Matius 27:46. Ini
adalah seruan Yesus dari kayu salib. “Kira-kira jam
tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama
sabakhtani?" bahasa Aramik yang berarti: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa
Engkau meninggalkan Aku?”
Dalam ayat 43, orang-orang menyalibkan Dia, mencemooh
dan mengolok-olok Dia dan mereka berkata: “Ia menaruh
harapan-Nya pada Allah: baiklah Allah menyelamatkan Dia, jikalau Allah berkenan
kepada-Nya! Karena Ia telah berkata: Aku adalah Anak Allah.”
Kemudian berserulah Tuhan kita, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Itu terjadi beberapa jam setelah Tuhan berbicara
kepada murid-murid-Nya dalam Yohanes 16:32 katanya, “Lihat,
saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu diceraiberaikan masing-masing
ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri. Namun Aku tidak
seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku.”
“Namun Aku tidak seorang
diri, sebab Bapa menyertai Aku.”
Kemudian berserulah Yesus dari kayu salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Yesus sendiri hidup sendirian bahkan saat
ditengah ajalNya. Tapi Ia sendiri memberi peneguhan pada pengikutnya bahwa Ia
tidak sendiri karena ada Bapa disampingNya.
Saya yang seringkali di pastoran
sendirian. Romo Win dan Romo Indra sibuk misa disana sini tidak merasa
kesepian. Apalagi ketika pengalaman saya sakit sendirian tidak berdaya. Mau
kemana dan minta tolong siapa? Kalau saya tidak berjuang sendiri, bisa lewat
hidup saya.
Ada pada saatnya kita ditugaskan sendirian.
Keberadaan sendiri bukan berarti kesepian. Saya selalu
ingat akan penyertaan Dia yang membuka tangan-Nya untuk menyambut kita, dan membuat
kita begitu dekat dengan-Nya. Apakah Anda ingat Yesaya 49? “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia
tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak
akan melupakan engkau” (Yesaya 49:15).
Juga Ibrani 13: “Aku sekali-kali tidak akan
membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani
13:5). Allah selalu bersama kita. Ketika Gehazi meratapi Elisa yang akan segera
ditangkap dan ditawan oleh musuh, Elisa berkata, “Jangan takut, sebab lebih
banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka” (2 Raja-Raja 6:16).
Walaupun pada waktu itu Elisa sendirian, dan nabi itu berdoa katanya, “Ya
TUHAN: Bukalah kiranya matanya, supaya ia melihat.” Dan Allah membuka mata
Gahazi. “Tampaklah gunung itu penuh dengan kuda dan kereta berapi sekeliling
Elisa.” (2 Raja-Raja 6:17).
Para malaikat Tuhan selalu ada di sekeliling kita. Selalu bersama
dengan kita. Allah ada di sana. Ketika Rut meninggalkan Moab tanah kelahirannya
dan menjadi orang asing di tanah Israel, Allah beserta dengan dia. Dan dia
tercatat dalam daftar garis keturunan Tuhan dan Juruselamat kita, Kristus
Yesus. Allah beserta kita.
Maka secara fisik maka hidup kita benar benar sendirian. Tapi kita
tidak boleh dan tidak bisa dianggap kesepian. Alone but not Loneliness. Ada
Allah yang menguatkan saya untuk bertahan. Maka ini juga yang menjadi dasar
sebenarnya kenapa para rohaniwan dan biarawan juga sengaja “diijinkan”
sendirian. Supaya hidupnya melulu demi memuliakan nama Allah. Supaya ia fokus
dan berjuang dalam hidupnya demi mewujudkan kerajaanNya.
Rasanya bila sudah dalam tahap ini memang membutuhkan
waktu dan proses belajar yang panjang. Saya jadi ingat ketika bulan pertama
sudah 20 frater dan suster yang singgah di pastoran. Satu sisi saya senang
karena mereka semua perhatian dan bisa bersosialisasi karena frater sebelumnya
belum pernah mengundang satu pun untuk main ke pastoran. Tapi dalam sisi yang
lain ternyata ini menimbulkan pertanyaan kalau keseringan? Apakah ini alam ketidak
sadaran saya bahwa saya tidak dapat menikmati hidup kesendirian.
Teman itu bisa datang dan pergi. Sahabat pun ada waktu
meninggalkan mu dalam kesendirian. Setiap orang pun membutuhkan waktu
sendiriannya (me time). Maka saya simpulkan melalui toper ini saya sungguh
dilatih dan belajar untuk semakin siap diutus sendiri dan hidup sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar