Entah kenapa tema rendah hati selalu terngiang ngiang di pikiran dan hatiku selama akhir kelulusan S1 sampai sekarang menapaki jalan panggilan TOPER.
Rendah hati selalu menjadi pijakan yang selalu digadang gadang baik oleh pembimbing rohani maupun pembimbing toperku sebagai bekal kepemimpinanku ini
Dalam pencarian yang saya lakukan selama ini saya sendiri saat itu "belum" tergerak dan merasa terbuka dengan rendah hati. Apalagi mengingat perjalanan panggilan yang saya alami selama 4 tahun rasanya sudah baik baik saja dan cukup untuk mendeskripsikan bahwa saya sudah "berendah hati". Bayangkan ketika saya hidup dalam pola lama yang menurut orang sudah mewah, mobil ada, rumah sendiri ada, gaji sudah cukup. Ternyata harus hidup 360' berubah dan sekarang bisa dibilang saya tidak pernah memikirkan bahkan berniat mencari itu semua.
Namun ternyata yang dimaksud adalah lebih dari itu. Ketika hidup saya sudah menggambarkan kerendahan hati untuk memilih jalan kemiskinan dan jalan kesederhann (secara garis besar). Saya masih dihadapkan berendah hati kepada sesama, kepada umat , kepada rekan kerja, kepada pihak yang saya layani serendah-rendahnya.
Merasakan bagaimana mendengar keluhan, masukan, saran, kritik apapun bentuknya yang tiada hentinya.Sejujurnya saya sendiri adalah pribadi yang cuek. Tapi sebagai seorang calon imam rasanya melihat hal tersebut apakan "ilo". Akhirnya ya saya pun harus menerima dengan berita berita yang banyak terdengar tidak masuk akal dan mustahil.
Anggap saya kedekatan saya dengan orang lain, mesti dari sisi yang lain kedekatan ini tidak disukai dan bahkan terasa ganjil. Banyak masukan untuk mengurangilah, menghindari lah dan sebagainya. Padahal dari segi kepentingan, kedekatan ini sesungguhnya adalah sebuah bantuan bagi saya karena teman saya ini paling bisa diandalkan. Pengalaman lain soal tugas, rasanya ketika melayani salah satu lingkungan muncul permintaan ini dan itu yang kadang tidak masuk akal. Apalagi melihat adanya suatu "pamrih" dibalik itu. Huh rasanya jengkel sekali pengen kaplok dan marah melihat pelayanan yang berlandaskan bukan kebutuhan
Belum lagi ada tendesi bahwa imam atau frater tertentu adalah milik dari umat tertentu. Rasanya hati ini ingin berkata " enak aja, siapa bilang elu bisa atur atur hidup gue..." , main larang - main perintah - main suruh. " Emangnya gue ini babu loe..!" Huh gemes...
Tapi sekali lagi dan untungnya saudara saudara
dalam permenungan harian ini saya menyadari akan tugas dan siapa status saya. Saya sadar akan tujuan mengapa saya diutus. Kalau melihat gambar di atas ini, rasanya kesal dan amuk yang saya miliki sedikit berkurang bahkan menurun.....fuhh
Benar juga, inilah mungkin yang diperjuangkan oleh Romo Ig. Haryono, Pr dan lm Romo Harikustono,Pr yang tiada hentinya berkata "Jadilah rendah hati"
Rendah hati bukan hanya mau menerima kelemahan, mau menerima masukan, mau menerima keterbatasan.
Tapi juga sebuah penyadaran akan motivasi pelayanan saya kepada umat. Seluruh pelayanan itu hanya melulu untuk Tuahn bukan diri sendiri. Romo Deny dalam nasihatnya, jika pelayanan kita bukan untuk Tuhan semata, ketika kita kecewa karena keterbatasan itu kita akan merasa sakit dan menyesal.
Rasa inilah yang menjadi pembelajaran bagi saya untuk semakin sabar. Biar kita diinjak injak, di protes pun kalau memang tujuan kita baik, kalau memang seluruh energi kita hanya untuk Tuhan maka kita tidak perlu takut atau sedih karena segala sesuatunya Tuhan yang menerima.
Ah kalau begini saya jadi semakin sadar.Sabda pemimbimbing saya Romo Deny, "Seseorang yang melayani bukan karena ketulusan tapi justru karena keuntungan diri sendiri akan menyerah dan mudah sakit hati, ketika kebaikannya ini terabaikan dan salah terima"
Ya Tuhan ku kalau begini, mudah-mudahan aku selalu sabar dan rendah hati untuk menerima tidak ada yang sempurna dan dari keterbatasan kita bisa maju untuk memberikan yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar