Berangkat dari
permenungan bacaan hari ini kita diajak melihat bagaimana Yusuf dan Maria
sungguh-sungguh menyiapkan diri untuk menyelamatkan jiwa Yesus dari berbagai
ancaman. Keduanya sadar betul tugas dan kewajibannya yang utama sebagai orang
tua. Mereka sungguh mengorbankan semua kepentingan dirinya dan mampu bangkit
untuk melihat masa depan, demi nasib dan
masa depan si anak, yang bisa saja ditentukan oleh mereka. Padahal kalau kita
melihat tradisi yang berkembang, Keluarga ini berangkat dari figur keluarga
yang “tidak diharapkan, tidak ideal, tidak dibayangkan” dll.
Kata-kata yang sedemikian buruk
persepsinya ini bisa dilihat oleh bapak ibu semua, dari banyak ciri :
1.
Maria diperkirakan berumur 16 tahun
2.
Yusuf diperkirakan berumur 37 tahun
3.
Yusuf sempat dikatakan “stress” karena
harus menerima untuk segera dinikahkan dengan gadis dibawah umur yang sudah
mempunyai anak
4.
Maria harus menerima malu karena
kebingungan, mencari penjelasan siapa bapaknya?
5.
Ditengah kegalauan ini, sebenarnya
bimbingan dari Roh Kudus tidaklah begitu banyak dan meyakinkan, maka bisa
dimungkinkan mereka mangkir dan beralih pada pandangannya sendiri
6.
Segera kedua pasangan ini
diperguncingkan dan dihina, bahkan menurut tradisi Maria harus banyak
bersembunyi, tidak boleh beribadah bahkan akhirnya harus masuk ke dalam masa
perasingan selama kehamilan dengan mengunjungi ibu Elisabeth.
Kalau kita melihat
banyak hal yang tidak mungkin dalam pernikahan ini, rasanya bagi kita di jaman
sekarang baik entah untuk kita, anak dan pasangannya pasti akan sulit menerima
dan dengan mudahnya kita pun menolak. Apalagi dengan godaan jaman sekarang,
dalih “masa kita tidak mau terbaik untuk hidup kita, kita sudah berusaha, kita
sudah berdoa, hindari yang tidak enak ya Tuhan”. Pilihan ini tidak akan populer
dan menjadi jarang bagi kita untuk memilih. Logika pemikiran ini juga
seharusnya bisa diterapkan pada Yusuf yang “tidak bersalah”. Yusuf berhak
memilih yang terbaik bagi hidupnya.
Namun apa yang terjadi?
Yusuf justru memilih masuk ke dalam skenario yang dirancang Tuhan sendiri.
Yusuf yakin akan undangan bagi hidupnya untuk masuk dalam rencana Tuhan yang
besar, yang justru akan membuatnya tambah menderita, berjuang dan menahan malu.
Yusuf memilih pilihan yang terbaik yang saat ini sulit dilihat dan dibayangkan.
Maka tanggungjawab akan resiko dan kesungguhan hati Yusuf lah yang membuat
pondasi keluarga kudus ini berjalan dengan baik. Ada sikap rendah hati,
kebesaran hati, kesabaran dan kebapakan yang meyakinkan Maria bahwa “keadaan
akan baik-baik saja dan aku akan melindungimu dan anak kita”. Maria yang juga
menerima beban berat bisa bangkit dan berpikir ini adalah anugerah yang
terindah dalam hidupnya.
Saudara-saudariku
sekalian, yang ingin saya katakan sebenarnya adalah sebuah penegasan “ tidak
ada keluarga beriman yang sempurna”. Tidak ada keluarga yang langsung diberikan
100% mulus adanya. Bahkan keluarga kudus berangkat dari sebuah aib yang justru
menjadi semangat untuk berbenah. Maka bagi saya, jika kita sebagai keluarga
masih suka tengak tengok sana sini, masih suka iri, masih suka menggerutu dan
menyesal, “kenapa kok aku mau kawin karo kowe, yen nasibku ngene kebak derita”
harap segera dipikirkan. Bagi saya belajarlah seperti Yusuf dan Maria yang bisa
menatap masa depan atas apa yang akan membawa mereka selamat. Bagi semua
keluarga disini, carilah hal-hal baik, positif, serta apapun yang membuat hidup
anda bersemangat dan yakin, anda memang diciptakan untuknya.
Yang harus kita percaya
saat ini adalah semua keadaan kehidupan Tuhan ciptakan baik adanya. Yang membuat
keadaan makin runyam dan bermasalah itu ya kita sendiri. Dengan hak kebebasan
yang diberikan kepada Tuhan harusnya bisa kita gunakan atas kepentingan
bersama, demi kebaikan bersama. Maka marilah kita bersama-sama menyadari dengan
semangat keluarga kudus yang mampu melihat masa depan, kita diajak tidak hanya
menggerutu di masa lalu, tapi mampu melihat sini kini dan berjalan dengan
gembira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar