Refleksi
Akhir Tahu Berkarya di Paroki Wedi
Alexander
Editya Pribadi
Berangkat
dari semua pengalaman kelabu dalam TOPer pertama dan Retret Agung yang saya
jalani 4 Bulan yang lalu, ada perasaan kecewa yang luar biasa akan berbagai hal
dan keputusan yang menyangkut panggilan saya. Bisa jadi karena panggilan saya
selama 6 tahun ini sepertinya bergeser kepada motivasi lain yang tidak saya
sadari. Juga berbagai kebijakan staff sebagai pimpinan yang rasa saya tidak
membuat saya simpati dan respek. Saya sadar saat itu saya jugalah yang memiliki
banyak sekali kekurangan dan untungnya kemudian dapat terolah dengan baik. Saat
itu saya sempat merasa iri juga dengan teman teman seangkatan yang ternyata tidak
lebih baik dari diri saya,apalagi soal hitungan berbagai hal yang sudah saya
berikan untuk seminari. Maka ranah ini menjadi alibi pusat kemarahan karena saat
itu saya berpikir soal keadilan.
Namun
saya sadari, panggilan bukan soal siapa yang berprestasi, siapa yang berjasa
dan siapa yang pantas maju. Semuanya berjalan dengan kompleks dan tidak bisa
dilihat dari sisi itu saja. Benar juga kata para staff, kalau Tuhan punya
rencana semuanya pasti berjalan. Saya sadari banyak hal yang akhirnya
menyimpulkan kalau saya memang harus mengulang demi kebaikan panggilan saya..
Dalam permenungan, saya seakan akan terlihat perfeksionis dan menginginkan yang
terbaik. Pengalaman ini ternyata masih berbekas saat ini. Memang menjadi resiko
kalau kita bekerja secara total pasti akan mengorbankan hal lain. Apalagi secara
tidak sadar hal –hal tersebut mungkin bagi orang lain dianggap lebih penting. Maka
pengalaman bekerja giat dari masa lalu yang tidak diperhitungkan rasanya
membuat saya menjadi trauma. Tapi karena ini adalah pelayanan maka saya kini
bisa menerima ada hal lain di luar karya saya yang juga banyak harus saya olah.
Di
Paroki Wedi, niatnya saya adalah berelasi seperlunya, seiklasnya dan dalam
konteks SK yang diberikan. Namun dalam kenyataan, saya masih tergoda untuk
tidak diam saja melihat banyak ketidakberesan yang terjadi. Malahan ini membuat
saya ingin mengerjakan langsung dan memegang alih. Godaan pastoral ini sempat
melupakan niat saya untuk lebih banyak diam seperti yang saya olah kemarin.
Perasaan tidak tega, gemas, ingin membantu ini itu meronta ronta seperti ingin
dikeluarkan. Ada pergulatan yang bergejolak dalam diri saya untuk tidak sekedar
diam saja. Maka sebenarnya hal ini adalah hal yang lucu bagi orang lain. Kalau
biasanya orang itu senang kalau disuruh “diam”, saya justru tidak. Rasanya saya
ingin sepenuhnya memberikan hidup saya untuk pelayanan. Namun pada akhirnya pemikiran sederhana ini tidak
serta merta dapat dilakukan sesimpel itu. Pengalaman 4 Bulan ini malah
mengingatkan saya untuk bekerja secara porposional. Romo Maradyo, Pr hanya
mengingatkan saya soal prioritas yang perlu diasah dan dipertajam. Mana yang
sungguh harus dibela-belakan dikerjakan dan mana yang harus saya katakan tidak.
Maka
perkembangan selanjutnya adalah mengolah diri untuk berani mengatakan tidak,
yang sampai saat ini masih diolah. Saya memang jarang mengatakan tidak kepada
orang lain dalam 4 bulan ini. Rasanya tidak pernah kepikiran saja kalau saya
sampai mengatakan hal itu. Tapi memang bagi saya bukan soal pelaksanannnya tapi
makna dibalik itu semua, bagaimana saya mampu mengerem diri dan akhirnya
mengatakan saya terbatas dan tidak sempurna. Saya menyadari umat itu
menginginkan pelayanan yang terbaik dari kita, tidak mau tahu dan bagaimana
caranya. Maka saya juga tidak menyalahkan umat bila tawaran itu semakin lama
semakin banyak. Di tahun ini saya berkomitmen untuk banyak mengurangi jadwal ke
luar. Memang di luar Wedi ini relasi dan “tawaran pelayanan” itu kerap datang.
Saya juga tidak mengerti mengapa harus saya, padahal saya sudah tinggal di
pelosok. Maka perjuangan ini akan terus bergumul dan semoga apa yang saya
cita-citakan sungguh bisa saya lakukan untuk menunjukkan perubahan itu.
Selanjutnya
soal “ketergantungan” yang tidak terlihat yang saya alami dengan angkatan. Saya
sempat merasa drop ketika saya harus
turun angkatan. Bahkan saya sendiri sempat merasa terbuang. Tapi pada
kenyataannya saat saya melihat relasi dan hubungan mereka terutama dengan saya
sendiri. Saya malah bersyukur karena angkatan saya tidak sebaik yang saya kira.
Ada beberapa karakter yang saya temukan baru baru ini memperlihatkan “mereka
sudah membuka topengnya”. Ini menyadarkan saya bahwa tidak ada manusia yang
bisa seratus persen baik dan bisa dipegang. Pemahaman dalam pengalaman ini
akhirnya banyak membuka diri saya untuk menerima orang lain dengan sewajarnya,
tidak terikat dan siap mengatakan saya mampu untuk berjalan sendiri. Saat di
TOPer ini saya merasa dalam kesendirian, dimana saya tidak mengenal banyak
angkatan saya yang baru. Saya banyak diajak untuk sendiri, mengolah apapun untuk
tidak bersama orang lain. Pengalaman ini jauh lebih banyak dari dahulu yang
tidak disadari ternyata sering dikerjakan bersama-sama. Pengalaman ditinggalkan
juga membuat saya kuat untuk bertahan. Dan akhirnya satu-satunya yang akhirnya
membuat saya bertahan pada akhirnya hanyalah cinta akan panggilan.
Saya harus menyadari,
tidak selamanya nanti pastoran akan menyenangkan, rekan kerja yang pengertian
bahkan umat yang respek dengan kita. Saya menyadari panggilan saya kini sudah
berjalan 6 tahun, rasa-rasanya amat sayang kalau saya lemah dan jatuh hanya
karena ini. Ada banyak lain yang bisa saya olah dan pikirkan. Maka saya
bersyukur ditempatkan dalam TOPer kedua ini karena ada banyak hal yang
membangun diri saya di luar karya dan pengalaman yang saya punya selama ini.
Dunia ini tidak hanya terdiri dari hitam dan putih. Dunia ini abu-abu termasuk
misteri panggilan. Di luar kegembiraannya ada juga kepedihan yang harus kita
terima. Di luar kesetiaan ada juga pengkhianatan yang menyakitkan. Saya sendiri
sejujurnya telah kehilangan publik figur model yang memberi inspirasi sebagai
imam yang baik. Saat ini semakin banyak berita miring yang saya dengar tentang
para imam dan tentang senior senior saya ini. Tapi walaupun demikian hal ini menyurutkan
jalan saya untuk maju dan menampilkan pelayanan yang tulus. Lagipula belum
tentu berita itu juga benar 100%.
Keinginan saya saat ini
sebenarnya hanya satu. Saya hanya ingin melayani umat dengan baik, seperti
mereka melayani Romonya dengan tulus. Maka saya sebenarnya tidak ingin
mengecewakan mereka yang selama ini banyak berbuat baik bagi Gereja. Namun
rasanya pemikiran sederhana ini perlu disesuaikan akhirnya dengan konteks dan
kepentingan masa formatio saya. Saya akui saat ini saya memang lugu dan tidak mau
berpikiran aneh-aneh. Tapi kepentingan orang lain yang melihat pada akhirnya
harus saya pikirkan juga, apalagi makin jelas saya sebagai publik figur. Sejujurnya
saya adalah seseorang yang benci untuk dinilai, dikekang dan digurui tapi saya
sadar posisi saya ini adalah seorang formandi yang kadang memang perlu
dibatasi. Saat ini saya sadar bahwa saya harus taat dan patuh pada apa yang
dipercayakan Tuhan pada pimpinan saya sebagai wakilnya. Maka saya pun belajar
dengan rendah hati menerima segala masukan demi baiknya panggilan dan Gereja ke
depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar