Sabtu, 09 Januari 2016

sebuah PENGAKUAN



Refleksi Akhir Tahu Berkarya di Paroki Wedi
Alexander Editya Pribadi

            Berangkat dari semua pengalaman kelabu dalam TOPer pertama dan Retret Agung yang saya jalani 4 Bulan yang lalu, ada perasaan kecewa yang luar biasa akan berbagai hal dan keputusan yang menyangkut panggilan saya. Bisa jadi karena panggilan saya selama 6 tahun ini sepertinya bergeser kepada motivasi lain yang tidak saya sadari. Juga berbagai kebijakan staff sebagai pimpinan yang rasa saya tidak membuat saya simpati dan respek. Saya sadar saat itu saya jugalah yang memiliki banyak sekali kekurangan dan untungnya kemudian dapat terolah dengan baik. Saat itu saya sempat merasa iri juga dengan teman teman seangkatan yang ternyata tidak lebih baik dari diri saya,apalagi soal hitungan berbagai hal yang sudah saya berikan untuk seminari. Maka ranah ini menjadi alibi pusat kemarahan karena saat itu saya berpikir soal keadilan.
            Namun saya sadari, panggilan bukan soal siapa yang berprestasi, siapa yang berjasa dan siapa yang pantas maju. Semuanya berjalan dengan kompleks dan tidak bisa dilihat dari sisi itu saja. Benar juga kata para staff, kalau Tuhan punya rencana semuanya pasti berjalan. Saya sadari banyak hal yang akhirnya menyimpulkan kalau saya memang harus mengulang demi kebaikan panggilan saya.. Dalam permenungan, saya seakan akan terlihat perfeksionis dan menginginkan yang terbaik. Pengalaman ini ternyata masih berbekas saat ini. Memang menjadi resiko kalau kita bekerja secara total pasti akan mengorbankan hal lain. Apalagi secara tidak sadar hal –hal tersebut mungkin bagi orang lain dianggap lebih penting. Maka pengalaman bekerja giat dari masa lalu yang tidak diperhitungkan rasanya membuat saya menjadi trauma. Tapi karena ini adalah pelayanan maka saya kini bisa menerima ada hal lain di luar karya saya yang juga banyak harus saya olah.
            Di Paroki Wedi, niatnya saya adalah berelasi seperlunya, seiklasnya dan dalam konteks SK yang diberikan. Namun dalam kenyataan, saya masih tergoda untuk tidak diam saja melihat banyak ketidakberesan yang terjadi. Malahan ini membuat saya ingin mengerjakan langsung dan memegang alih. Godaan pastoral ini sempat melupakan niat saya untuk lebih banyak diam seperti yang saya olah kemarin. Perasaan tidak tega, gemas, ingin membantu ini itu meronta ronta seperti ingin dikeluarkan. Ada pergulatan yang bergejolak dalam diri saya untuk tidak sekedar diam saja. Maka sebenarnya hal ini adalah hal yang lucu bagi orang lain. Kalau biasanya orang itu senang kalau disuruh “diam”, saya justru tidak. Rasanya saya ingin sepenuhnya memberikan hidup saya untuk pelayanan. Namun  pada akhirnya pemikiran sederhana ini tidak serta merta dapat dilakukan sesimpel itu. Pengalaman 4 Bulan ini malah mengingatkan saya untuk bekerja secara porposional. Romo Maradyo, Pr hanya mengingatkan saya soal prioritas yang perlu diasah dan dipertajam. Mana yang sungguh harus dibela-belakan dikerjakan dan mana yang harus saya katakan tidak.
            Maka perkembangan selanjutnya adalah mengolah diri untuk berani mengatakan tidak, yang sampai saat ini masih diolah. Saya memang jarang mengatakan tidak kepada orang lain dalam 4 bulan ini. Rasanya tidak pernah kepikiran saja kalau saya sampai mengatakan hal itu. Tapi memang bagi saya bukan soal pelaksanannnya tapi makna dibalik itu semua, bagaimana saya mampu mengerem diri dan akhirnya mengatakan saya terbatas dan tidak sempurna. Saya menyadari umat itu menginginkan pelayanan yang terbaik dari kita, tidak mau tahu dan bagaimana caranya. Maka saya juga tidak menyalahkan umat bila tawaran itu semakin lama semakin banyak. Di tahun ini saya berkomitmen untuk banyak mengurangi jadwal ke luar. Memang di luar Wedi ini relasi dan “tawaran pelayanan” itu kerap datang. Saya juga tidak mengerti mengapa harus saya, padahal saya sudah tinggal di pelosok. Maka perjuangan ini akan terus bergumul dan semoga apa yang saya cita-citakan sungguh bisa saya lakukan untuk menunjukkan perubahan itu.
            Selanjutnya soal “ketergantungan” yang tidak terlihat yang saya alami dengan angkatan. Saya sempat merasa drop ketika saya harus turun angkatan. Bahkan saya sendiri sempat merasa terbuang. Tapi pada kenyataannya saat saya melihat relasi dan hubungan mereka terutama dengan saya sendiri. Saya malah bersyukur karena angkatan saya tidak sebaik yang saya kira. Ada beberapa karakter yang saya temukan baru baru ini memperlihatkan “mereka sudah membuka topengnya”. Ini menyadarkan saya bahwa tidak ada manusia yang bisa seratus persen baik dan bisa dipegang. Pemahaman dalam pengalaman ini akhirnya banyak membuka diri saya untuk menerima orang lain dengan sewajarnya, tidak terikat dan siap mengatakan saya mampu untuk berjalan sendiri. Saat di TOPer ini saya merasa dalam kesendirian, dimana saya tidak mengenal banyak angkatan saya yang baru. Saya banyak diajak untuk sendiri, mengolah apapun untuk tidak bersama orang lain. Pengalaman ini jauh lebih banyak dari dahulu yang tidak disadari ternyata sering dikerjakan bersama-sama. Pengalaman ditinggalkan juga membuat saya kuat untuk bertahan. Dan akhirnya satu-satunya yang akhirnya membuat saya bertahan pada akhirnya hanyalah cinta akan panggilan.
Saya harus menyadari, tidak selamanya nanti pastoran akan menyenangkan, rekan kerja yang pengertian bahkan umat yang respek dengan kita. Saya menyadari panggilan saya kini sudah berjalan 6 tahun, rasa-rasanya amat sayang kalau saya lemah dan jatuh hanya karena ini. Ada banyak lain yang bisa saya olah dan pikirkan. Maka saya bersyukur ditempatkan dalam TOPer kedua ini karena ada banyak hal yang membangun diri saya di luar karya dan pengalaman yang saya punya selama ini. Dunia ini tidak hanya terdiri dari hitam dan putih. Dunia ini abu-abu termasuk misteri panggilan. Di luar kegembiraannya ada juga kepedihan yang harus kita terima. Di luar kesetiaan ada juga pengkhianatan yang menyakitkan. Saya sendiri sejujurnya telah kehilangan publik figur model yang memberi inspirasi sebagai imam yang baik. Saat ini semakin banyak berita miring yang saya dengar tentang para imam dan tentang senior senior saya ini. Tapi walaupun demikian hal ini menyurutkan jalan saya untuk maju dan menampilkan pelayanan yang tulus. Lagipula belum tentu berita itu juga benar 100%.
Keinginan saya saat ini sebenarnya hanya satu. Saya hanya ingin melayani umat dengan baik, seperti mereka melayani Romonya dengan tulus. Maka saya sebenarnya tidak ingin mengecewakan mereka yang selama ini banyak berbuat baik bagi Gereja. Namun rasanya pemikiran sederhana ini perlu disesuaikan akhirnya dengan konteks dan kepentingan masa formatio saya. Saya akui saat ini saya memang lugu dan tidak mau berpikiran aneh-aneh. Tapi kepentingan orang lain yang melihat pada akhirnya harus saya pikirkan juga, apalagi makin jelas saya sebagai publik figur. Sejujurnya saya adalah seseorang yang benci untuk dinilai, dikekang dan digurui tapi saya sadar posisi saya ini adalah seorang formandi yang kadang memang perlu dibatasi. Saat ini saya sadar bahwa saya harus taat dan patuh pada apa yang dipercayakan Tuhan pada pimpinan saya sebagai wakilnya. Maka saya pun belajar dengan rendah hati menerima segala masukan demi baiknya panggilan dan Gereja ke depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar