Rabu, 03 Februari 2016

Belajar untuk Menjadi Rendah Hati



“Kuncinya hanya satu, jangan membiasakan menjadi kutu loncat. Harus dengan besar hati menerima keadaan yang sesungguhnya dan tidak loncat pada sebuah kebenaran yang dicari, yang kok dijodohkan dengan permasalahan yang dihadapi”
(Samuel Mulia)

            Saya tertegun membaca sebuah kisah menarik di Kompas edisi Minggu, 24 Januari 2016 di Rubrik Parodi dengan judul “Kutu Loncat” karangan Samuel Mulia. Kisah ini bagi saya adalah sebuah benang merah yang menggambarkan perjuangan dalam menemukan panggilan saya di tahun-tahun akhir ini. Saya yang bertugas selama kurang lebih 5 bulan di Paroki Wedi belajar banyak hal yang positif dan membawa saya pada sebuah kenyataan baru. Peristiwa-peristiwa pembelajaran yang saya alami dari kedua Romo terutama hal yang menyakitkan membawa saya pada suatu titik untuk tidak menjadi kutu loncat. Memang saya merasa ada ketidaknyamanan dalam belajar dan berkarya selama ini. Tapi sebelumnya ketidaknyamanan ini rupa-rupanya hanya saya anggap angin lalu. Dengan tidak besar hati saya tidak menerima keadaan saya pada awalnya sehingga malah memanipulasinya dengan situasi baru. Benar saja, bagaimana saya cenderung banyak mencari pembenaran sehingga banyak terjadi benturan prinsip yang akhirnya malah tidak membuahkan kata legowo tapi pembuktian diri menjadi sebuah ego.
            Kalau saya melihat dari kegiatan-kegiatan yang terjadi rasanya ada sebuah kesalahpahaman. Saya sendiri tidak pernah bermaksud mempunyai intensi khusus dalam melayani selama ini. Maksudnya entah itu mencari kepopuleritas, nama baik atau apapun. Sejauh yang saya sadari, saya pun hanya punya kelebihan dalam hal berpastoral. Itu pun karena ingin melayani sejauh yang saya miliki dalam diri. Maka dengan beriringnya semester baru, saya lihat sepertinya niat baik saya ini sudah dibaca sebagai yang berbeda. Hal ini bisa membuat saya seperti kutu loncat yang dianggap keras hati untuk mencari pembenaran. Apalagi tugas saya di sini sementara dan perutusan untuk belajar. Maka saya pun memutuskan untuk menarik diri dan menyadari kembali akan tugas yang harusnya saya gali selama ini.
Dalam permenungan bulan ini saya menemukan sikap legowo. Legowo yaitu menerima diri untuk berani menghadap kenyataan, menerimanya dan tidak meloncat kembali pada masalah yang lama dengan kacamata baru. Saya tidak mau mencari pembenaran, karena bagi saya mencari pembenaran seperti spons yang menghisap kekuatan atau energi seseorang sehingga tak berdaya menerima keadaan yang sesungguhnya. Mencari pembenaran itu semacam mencari bantuan agar kuat. Padahal di dalam mencari pembenaran, yang ditemui hanya sebuah bantuan kekuatan yang semu. Sepertinya rasa sakit yang saya terima saat ini adalah karena ulah saya sendiri karena saya tidak mau menerima rasa sakit itu. Tanpa sadar saya membiasakan diri jatuh di tempat yang empuk agar tidak terlalu sakit.
Padahal yang empuk empuk itu hanya enak sesaat dan sengsara selamanya. Pengalaman yang saya rasakan selama ini, semakin saya jatuh di tempat yang empuk, maka semakin saya mengumpulkan tabungan bernama luka yang tak pernah sembuh. Saya harus bisa bangkit dan menata kembali. Pengalaman bulan ini menyadarkan saya untuk bisa menyadari bahwa saya hanyalah seorang formandi. Bahkan saat ini saya tidak berada dalam kekuasaan saya sendiri. Saya adalah hamba yang sungguh harus percaya pada sebuah ketaatan untuk senantiasa di format kapanpun dan dimanapun. Maka saya harus menerima banyak hal yang tidak bisa saya lakukan sekarang, bahkan mungkin memang belum saatnya. Saya punya keterbatasan dan punya banyak kelemahan. Kelemahan yang selama ini dilupakan karena punya kelebihan. Kelemahan yang harusnya justru dibenahi dan diperhatikan. Permenungan selama seminggu inilah saya rasakan malah membawa banyak perubahan dalam ketentraman hati.
Maka di waktu yang tersisa ini semoga dengan kesadaran ini membawa saya pada perjalanan hidup yang baru. Pemahaman untuk menerima dan mengisi yang kosong dengan sebuah kesadaran bahwa pembelajaran tidak boleh mati dan kepuasan pun tidak boleh berhenti. Hanya mengakui diri adalah sebuah kesombongan yang tidak membuat diri saya berkembang. Terima kasih untuk Romo Mar dan Romo Tras yang selalu mengingatkan saya untuk belajar. Belajar banyak hal, termasuk memberikan saya kesempatan lagi untuk berdinamika dan memberikan maaf kalau memang posisi saya selama ini keliru dan kurang berkenan.  Saya adalah seorang frater yang belajar dan bukan yang membantu. Saya adalah seorang frater yang melihat dan bukan yang melakukan. Saya adalah seorang frater yang harus terbuka dan bersedia bertanya untuk belajar. Semoga dari kesadaran ini membantu saya untuk lebih menghargai sebuah nilai yang sama-sama kita yakini benar, kasih Kristus untuk melayani. (Fr.Edith/TOPER)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar