“Kuncinya
hanya satu, jangan membiasakan menjadi kutu loncat. Harus dengan besar hati
menerima keadaan yang sesungguhnya dan tidak loncat pada sebuah kebenaran yang
dicari, yang kok dijodohkan dengan permasalahan yang dihadapi”
(Samuel
Mulia)
Saya
tertegun membaca sebuah kisah menarik di Kompas edisi Minggu, 24 Januari 2016
di Rubrik Parodi dengan judul “Kutu Loncat” karangan Samuel Mulia. Kisah ini
bagi saya adalah sebuah benang merah yang menggambarkan perjuangan dalam
menemukan panggilan saya di tahun-tahun akhir ini. Saya yang bertugas selama
kurang lebih 5 bulan di Paroki Wedi belajar banyak hal yang positif dan membawa
saya pada sebuah kenyataan baru. Peristiwa-peristiwa pembelajaran yang saya
alami dari kedua Romo terutama hal yang menyakitkan membawa saya pada suatu
titik untuk tidak menjadi kutu loncat. Memang saya merasa ada ketidaknyamanan
dalam belajar dan berkarya selama ini. Tapi sebelumnya ketidaknyamanan ini
rupa-rupanya hanya saya anggap angin lalu. Dengan tidak besar hati saya tidak
menerima keadaan saya pada awalnya sehingga malah memanipulasinya dengan
situasi baru. Benar saja, bagaimana saya cenderung banyak mencari pembenaran
sehingga banyak terjadi benturan prinsip yang akhirnya malah tidak membuahkan
kata legowo tapi pembuktian diri menjadi
sebuah ego.
Kalau
saya melihat dari kegiatan-kegiatan yang terjadi rasanya ada sebuah kesalahpahaman.
Saya sendiri tidak pernah bermaksud mempunyai intensi khusus dalam melayani
selama ini. Maksudnya entah itu mencari kepopuleritas, nama baik atau apapun.
Sejauh yang saya sadari, saya pun hanya punya kelebihan dalam hal berpastoral. Itu
pun karena ingin melayani sejauh yang saya miliki dalam diri. Maka dengan
beriringnya semester baru, saya lihat sepertinya niat baik saya ini sudah dibaca
sebagai yang berbeda. Hal ini bisa membuat saya seperti kutu loncat yang
dianggap keras hati untuk mencari pembenaran. Apalagi tugas saya di sini sementara
dan perutusan untuk belajar. Maka saya pun memutuskan untuk menarik diri dan menyadari
kembali akan tugas yang harusnya saya gali selama ini.
Dalam permenungan bulan
ini saya menemukan sikap legowo. Legowo yaitu menerima diri untuk berani
menghadap kenyataan, menerimanya dan tidak meloncat kembali pada masalah yang
lama dengan kacamata baru. Saya tidak mau mencari pembenaran, karena bagi saya
mencari pembenaran seperti spons yang menghisap kekuatan atau energi seseorang
sehingga tak berdaya menerima keadaan yang sesungguhnya. Mencari pembenaran itu
semacam mencari bantuan agar kuat. Padahal di dalam mencari pembenaran, yang
ditemui hanya sebuah bantuan kekuatan yang semu. Sepertinya rasa sakit yang
saya terima saat ini adalah karena ulah saya sendiri karena saya tidak mau
menerima rasa sakit itu. Tanpa sadar saya membiasakan diri jatuh di tempat yang
empuk agar tidak terlalu sakit.
Padahal yang empuk
empuk itu hanya enak sesaat dan sengsara selamanya. Pengalaman yang saya
rasakan selama ini, semakin saya jatuh di tempat yang empuk, maka semakin saya
mengumpulkan tabungan bernama luka yang tak pernah sembuh. Saya harus bisa
bangkit dan menata kembali. Pengalaman bulan ini menyadarkan saya untuk bisa
menyadari bahwa saya hanyalah seorang formandi. Bahkan saat ini saya tidak
berada dalam kekuasaan saya sendiri. Saya adalah hamba yang sungguh harus
percaya pada sebuah ketaatan untuk senantiasa di format kapanpun dan dimanapun.
Maka saya harus menerima banyak hal yang tidak bisa saya lakukan sekarang,
bahkan mungkin memang belum saatnya. Saya punya keterbatasan dan punya banyak
kelemahan. Kelemahan yang selama ini dilupakan karena punya kelebihan.
Kelemahan yang harusnya justru dibenahi dan diperhatikan. Permenungan selama
seminggu inilah saya rasakan malah membawa banyak perubahan dalam ketentraman
hati.
Maka di waktu yang
tersisa ini semoga dengan kesadaran ini membawa saya pada perjalanan hidup yang
baru. Pemahaman untuk menerima dan mengisi yang kosong dengan sebuah kesadaran
bahwa pembelajaran tidak boleh mati dan kepuasan pun tidak boleh berhenti.
Hanya mengakui diri adalah sebuah kesombongan yang tidak membuat diri saya
berkembang. Terima kasih untuk Romo Mar dan Romo Tras yang selalu mengingatkan
saya untuk belajar. Belajar banyak hal, termasuk memberikan saya kesempatan
lagi untuk berdinamika dan memberikan maaf kalau memang posisi saya selama ini
keliru dan kurang berkenan. Saya adalah
seorang frater yang belajar dan bukan yang membantu. Saya adalah seorang frater
yang melihat dan bukan yang melakukan. Saya adalah seorang frater yang harus
terbuka dan bersedia bertanya untuk belajar. Semoga dari kesadaran ini membantu
saya untuk lebih menghargai sebuah nilai yang sama-sama kita yakini benar,
kasih Kristus untuk melayani. (Fr.Edith/TOPER)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar