Senin, 24 Agustus 2015

Sekumpulan Insight ; Chapter Two - Bertemu dengan Allah




Maka memasuki minggu kedua kutemukan beberapa butir perjuanganku untuk maju. Ada beberapa yang kutemukan baru-baru ini untuk menambah keyakinanku. Sikap lepas bebas, penerimaan situasi konkret, kesederhanaan gaya hidup, kerja keras, ketersediaan diri, pengabdian, kesetiakawanan dengan kaum miskin dan tanggung gugat. Maka sebenarnya aku sendiri tidak perlu memikirkan lagi apa yang harus kulakukan dengan panggilanku. Begitu banyak sahabat yang memberi dukungan dan doa memintaku untuk tidak memikirkan yang aneh-aneh. Sesungguhnya satu sisi aku tertawa, karena jangan-jangan mereka berpikir Retret agung ini untuk memutuskan keluar panggilan ya? tapi satu sisi juga terharu melihat doa dan kasih yang mengharapkan aku tetap masuk dalam panggilan kudus ini.
Panggilan pribadi adalah hal yang kompleks dan tidak serta merta matang. Panggilan butuh proses dan seperti tanaman perlu dipupuk dan dirawat. Banyak telah kulihat pengalaman dari sahabat-sahabatku yang jujur membuatku kecewa sekaligus sedih. Panggilan yang ditinggalkan mereka karena suatu hal yang sudah tidak dianggap sebagai jaminan hidup. Sahabat yang nyatanya hidupnya sangat baik namun harus merelakan hidupnya ke tempat lain. Kalau boleh kusebut selama 6 tahun ini aku telah kehilangan dua orang suster dan tujuh orang frater yang sangat dekat. Malah sebenarnya aku heran dengan mereka yang bertahan malah orang-orang yang menyebalkan sekali. Namun sekali lagi panggilan juga bukan soal suka dan tidak suka, siapa yang diutus bahkan pekerjaan dan karier. Ini personal dan sebenarnya merupakan misteri yang kusendiri tak menyangka hasilnya seperti ini.
Dalam salah satu refleksi tentang panggilanku, aku pun sempat terjebak pada situasi bangga akan perutusan. Kadang bila ku lihat tugas ku di perutusan adalah tugas yang sangat banyak dibandingkan dengan yang lain. Bagaimana kesulitannya pun lebih dua kali lipatnya dari yang lain. Namun nyatanya ketika tugas dengan profesional kulalui, bukanlah jaminan yang pasti akan kesiapan panggilan. Aku sendiri terjatuh pada jobdesk dan tanggung jawab tanpa melihat aku yang diutus untuk belajar menyerahkan diri padaNya. Makna inilah yang kudapat, bukan soal bagaimana karyamu nanti tapi apakah kamu siap menyerahkan tugasmu pada Tuhan dan memohon supaya bukan aku yang bekerja tapi Dia. Sederhana kan? Tapi nyatanya ini kualami dan kusadari sekarang. Maka seringkali ketika kamu merasa kosong, tak berguna dan hampa sebenarnya karena kamu selalu mengandalkan dirimu bukan Dia. Percayalah bila Dia yang bekerja, segagal apapun kamu tidak akan pernah merasa bersalah sedemikian rupanya.
Kesadaran yang hakiki juga kudapat adalah pengorbanan Yesus yang tiada habisnya, sempurna, utuh dan real bagiku adalah sebuah komitmen. Mengikutinya berarti juga menjadi miliknya. “Aku bukan milikku lagi sekarang tapi sudah menjadi milik Tuhan”. Kadang aku lupa karena egoku yang besar. Mungkin ini yang menjadi pergulatan mereka yang menilaiku. “Frater kok seperti itu? Fraternya beda seperti biasanya? Apa iya” kadang kupikir umat memang suka lebay. Jujur ada banyak suara yang bagiku kuanggap angin lalu karena tidak qualified dan kupikir juga tidak menjadi soal. Namun ada satu sisi yang saat ini menjadi penyadaran, mungkin Tuhan mau mengingatkanku pelan pelan dari sisi ini. Intinya adalah aku selalu bisa merasakan kasih Tuhan yang menjadi panduan hidupku. Aku juga manusia yang memiliki hati dan pikiran yang utuh. Maka aku harus bisa menyeimbangkan kemana aku harus bertindak, berlaku, menjadi dan berperan. Saat ini baru kumengerti makna yang sesungguhnya. Aku harus bisa menjadi diriku sendiri sekaligus membawakan diriku sebagai pelayanNya. Tidak mudah, tapi marilah kita lakukan.
Di minggu kedua ini banyak pengolahan yang melibatkan keputusan hati bagaimana menjawab pertanyaan dariNya. Sederhana tapi sebenarnya mengena. Dalam tema panggilan pribadi, aku diajak melihat sebenarnya bukan kamu yang memilih, tapi Dialah yang memilih kamu. Di tema ini aku diajak untuk bertelanjang melihat diriku seutuhnya tanpa tertutupi kelebihan, kehebatan dan kemampuan. Biarlah hanya dari diri dan hati saja. Pertanyaannya, sudahkah aku siap dalam kemurnian ini untuk melayaninya. Inilah pencarian pertama yang aku temui, “ Ya, aku belum siap Tuhan...aku masih mengandalkan diriku”. Inilah mungkin yang dimaksudkan oleh pembimbing toperku tentang tidak adanya nuansa kerendahan hati dan semangat belajar dalam refleksi toperku selama ini. Saat aku merasa telah mampu menyelesaikan semua job desk yang aku punya. Aku berprestasi karena kemampuanku sendiri. Rupanya penilaian itu bukan masalah sukses ataupun tidak sukses, tapi bagaimana kita bisa menyerahkan semua karya kita sebagai milik Tuhan. Tentunya dengan penyertaanNya lah semuanya dapat berhasil dilalui.
Menarik, satu demi satu bagian bagian dalam hidupku kuselami. Aku tidak menyalahkan masa lalu karena kesibukan, tapi karena memang saat inilah aku punya banyak kesempatan untuk mengolah diri. Dalam tema Yesus dan dunia kita, ada momen bagaimana aku kadang melupakan kualitas waktu yang aku punya karena perjuangan mendewakan kata efektif. Salah satu sahabat aku mengatakan, “Susah banget untuk punya waktu berdua sama kamu, kunjungan mu aja diselingi oleh kepadatan acara lainnya” Aku merasa bersalah ketika quality time kami harus cedera karena kepentinganku. Aku hanya bilang “Mumpung kesini e, jauh banget soalnya sama Pakem”.  Dari sini juga aku belajar untuk mengevaluasi lagi tentang  kata efektif yang nyatanya mengorbankan makna kata itu sendiri, semuanya terkesan sengaja dipaksakan dan tidak membuahkan apa-apa. Kebiasaan ini yang aku pelajari juga untuk memilah milah prioritas dan kepentingan, mana yang perlu, mana yang tidak dan mana yang harus diatur waktunya sendiri.
Semua pengalaman yang kugali ternyata indah! Pengalaman sakit saat menghadapi konflik akhirnya membawaku pada tema terbesar saat masuk ret ret ini. Selamat datang dalam tema konflik, sudah saatnya aku harus masuk dalam pengalaman ini. Dari pengalaman ini  beberapa sumber konflik yang selama ini aku simpulkan dalam diri adalah pengetahuan yang terbatas dari orang lain, daya tangkap yang berbeda, faktor pribadi dan kesombongan serta keegoisan. Yesus mengajakku untuk mempertahankan setiap prinsip yang aku punya. Dimana dalam setiap prinsip harus ada yang bisa aku pertanggungjawabkan setiap alasan di balik itu. Aku pun membuktikan berbagai perjuangan yang aku miliki. Dimana panggilan ini sendiri bukanlah sesuatu yang main-main. Dalam salah satu renungan yang aku tulis “Belajar dari pengalaman Ignatius mengatakan sudah waktunya aku tegas pada diri sendiri dan juga kepada orang lain untuk memperlihatkan apa yang aku lakukan di dalam nama kebenaran”. Terkadang sistem dan labelling menjadi suatu tantangan. Susah juga untuk menebus dan bangkit pada sesuatu image baru. Kalau sudah begini, aku hanya berani meminta kebenaran dari Yesus sendiri sebagai sang sumber kebenaran. Berani memulai baru, juga berani untuk mendobrak hal yang lama menjerat kita.
Di hari berikutnya aku beranjak pada tema yang semakin mendalam. Yesus yang Sendiri. Beranikah kamu untuk semakin rendah hati? Pertanyaan yang sebenarnya sangat mudah untuk dijawab. Rendah hati dalam memaknai secara mendalam jalan yang dibuat olehNya. Yesus bukan untuk dikagumi semata tapi juga keharusan untuk menghidupi seperti diriNya. Yesus membawaku pada suasana sedih dimana setiap detik detik sengsaraNya semakin kentara tapi tidak dimengerti oleh para muridNya. Hal tersebut bukanlah kesalahan para murid karena Yesus pun pasti memahami keterbatasan dari para muridNya. Maka pengalaman akan Yesus tersebut mengugah hatiku akan sebuah makna tentang kerendahan hati. Pada akhirnya ada saat dimana kita harus siap dan gembira hati untuk tidak dimengerti, ditinggal, dinilai termasuk diriku. Tugasku hanya satu, selalu setia, percaya dan hadir untuk melayaninya.
Tanpa kusadari ada pembelajaran baru yang sebenarnya selalu diberikan olehNya setiap hari. Kadang kita tidak pernah menyadarinya karena rutinitas harian menyebabkan seperti berlalu begitu saja. Dalam tema Pembelajaran Cara Berdoa, ada tiga doa yang dibawa dengan indah, Bapa Kami, Gloria dan Doksologi. Sekilas kita sering mendengar begitu saja karena misa harian yang menjadi makanan pokok. Kadang malah sambil terkantuk kantuk saking lelahnya kita menjalani rutinitas. Indahnya mendaraskan doa Bapa Kami dengan Lectio Devina  yang memiliki makna yang luar biasa luas. Doa ini adalah kumpulan rumusan sederhana akan keindahan Kerajaan Surga yang memberikan pengampunan, berkat, harapan dan kasih. Aku bersyukur sampai hari ini masih diberikan kesempatan untuk berdoa.
Kidung pujian para malaikat dalam Gloria memperlihatkanku akan sebuah makna kemuliaan dan keagungan Allah yang tak tergambarkan indahnya. Allah hidup, nyata dan megah. Keberadaan istana emas terungkap menjadi satu. Para malaikat berputar menyanyikan madah kegembiraan bagi Allah. Suasana damai ini ditutup dengan Doksologi, sebagai lambang kesatuan kita dengan Tuhan. Doa ini adalah kebersamaan Allah dengan seluruh umatnya dalam Gereja Semesta. Bisa dibayangkan ketika semua imam dalam waktu yang hampir bersamaan mengucapkan kalimat kerinduan umatNya akan Syukur pada Allah. Rasanya merinding setengah mati mendengarnya karena sekali lagi manusia diingatkan. Bahwa aku, kamu dan kita ini adalah milik Tuhan. Kalau sudah begini aku hanya terduduk melongo dan kagum. Siapakah kita ini yang selama ini banyak melenong dan berbusa sana sini, sementara keagunganNya akhirnya menutupi semuanya. Seperti lagu rohani yang saya ingat syairnya menggambarkan meditasi ini “Terlalu besar, kasihMu Bapa. Pengorbanan yang kau berikan kepadaku. Terlalu mahal darahMu Yesus, tercurah untuk menebus hidupku”  Sudahlah, akhirnya kita ini bukan siapa siapa.
Minggu panjang ini pun akhirnya selesai, dalam tema yang terakhir sebagai kesimpulan perjuanganku aku diajak untuk merenung tentang Yesus dan murid-muridNya. Bagaimana dan siapakah aku ini dihadapanNya? Berjalan dalam kesendirian selama lebih dari 20 hari menutup sebuah kesimpulan. Aku harus berani dan memiliki cinta yang mendalam dengan Yesus.  Berani untuk menyatakan tidak pada apa yang tidak aku mau dan ya pada apa yang aku akan lakukan. Aku harus berani untuk menyatakan bahwa aku mencintai Yesus dan ikut bersamaNya membangun sebuah untaian kasih. Terima kasih karena Yesus mengingatkanku dan membukakan komitmen baru padaku. Pengalaman sakit, luka, masa lalu sudah kubuka dan kututup bersama Yesus.  Setiap murid diberi kepercayaan, termasuk aku. Maka setelah aku berjuang selama 6 tahun bersamaNya, harusnya aku memiliki sebuah semangat yang selama ini mungkin telah padam yaitu kegembiraan menjadi murid Yesus.
Melihat rencanaNya, selama ini aku mungkin berambisi dan memiliki rencana hidupku sendiri yang tidak kukompromikan denganNya. Ingatlah bahwa rencanaku bukan rencanaNya dan RencanaNya justru adalah rencanaku. Hidup ini berkata lain. Setelah semua rencanaku berubah total. Aku lupa bahwa Tuhanlah yang mengatur hidupku. Tapi keyakinanku Dia masih membutuhkan aku. Maka dengan kesadaran ini semua beban, kekecewaan dan kesedihanku juga Dia ambil. Aku saat ini merasa lepas bebas dan menikmati setiap perutusan. Kegembiraan murid Yesus harus bertahan dan terus bersinar. Tak lagi kupikirkan angkatanku yang jujur sangat aku sayangi (tidak pernah membayangkan juga akan berlalu dari mereka). Kalau sudah begini melihat mereka sepertinya baik-baik saja, apalagi tidak semuanya baik menyenangkan kok. Masih ada para penjilat dan tukang cari aman yang berkeliaran. Ya meski masih ada beberapa sahabat yang setia dan selalu menyapaku, ya sudahlah. The movie must go on. Positifnya saya sudah tidak merasa kerepotan sok-sokan bertanggung jawab dan memberi perhatian lebih lagi. Doaku selalu menyertai mereka J .
Angkatan baru, ehm...sophisticated...menarik. Saya tahu angkatan ini memiliki kekhasan yang berbeda dengan kakaknya. Mereka punya pendirian dan aliran yang berbeda dari sananya. Semoga saja mereka mau menerima mantan kakaknya yang dikenal juga unik seperti mereka ini. Ada ketua tingkatnya Fr. Yayan dan sisa sisa Israel KASnya, Fr. Joko, Fr. Hendri, Fr. Bernard, Fr. Novi, Fr. Paulus yang ditambah Fr. Bertus dan aku sendiri. Menarik dengan komposisi yang lebih kurang sama dengan angkatan lamaku. Semoga ada petualangan baru yang membawaku menjadi lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar