Tidak terasa tiga minggu sudah aku berenung bersamaNya.
Aku masuk ke masa Jalan Sempit. Masa dimana saatnya aku meratapi, merenungkan
dan hidup dalam kesengsaraan Yesus. Uniknya dalam buku panduan yang aku pakai,
aku tidak boleh menjadi orang lain. Aku diminta untuk turut merasakan dan
menjadi Yesus di duniaku sendiri. Seandainya aku yang mendapatkan sengsara
seperti itu bagaimana akan dapat bertahan? Untungnya dalam bab penutup masa
kedua tersebut aku mendapatkan sejumlah insight
yang menguatkanku akan perjuangan untuk terus berani dan mengobarkan cinta di
manapun aku berada. Yesus mengingatkanku dan membukakan komitmen baru karena Ia
memberikan perutusan dan kepercayaan kepada para muridNya untuk melanjutkan
karyaNya di dunia. Bagaimanapun aku juga termasuk muridNya sendiri, maka tidak
ada alasan apa apa bagiku untuk tidak bergembira dan berani untuk menyatakan
cintaNya padaku. Di masa-masa inilah kesempatanku untuk berani menemaniNya.
Dalam perjamuan terakhir, aku melihat sisi
kemanusiaan Yesus yang sungguh ingin membuatku menangis. Aku melihat diriNya yang
terluka karena Ia tahu bahwa diriNya akan dikhiananti, ditinggal dan didera.
Ingin rasanya memeluknya namun aku sendiri merasa Yesus mampu menerima dan
membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu. Dengan kasih yang luar biasa Ia
masih mau melayani, merendahkan diri untuk mencuci kaki para muridNya yan kotor
itu. Sungguh tidak masuk akal bagiku. Seorang Raja mau menyembah rakyatnya.
Barangkali saat ini tidak ada Raja di manapun mau seperti itu. Dari
penglihatanku ini aku belajar untuk tetap kuat dan bertahan di dalam
ketidakadilan. Belajar untuk tetap sabar walaupun menderita dan selalu
bersyukur karena Tuhan menyertai hidupku.
Dalam perkembangannya perjamuan Tuhan ini seperti
lambang kebersatuan jemaat dengan Yesus melalui Gereja. Saya memahami jika ditarik
panjang maknanya secara mendalam. Ada makna berbagi yang mengatakan bahwa Tuhan
selalu solider dan memahami permasalahan dan penderitaan umatNya. Lewat
perjamuan Tuhan di setiap Ekaristi yang kita ambil, Tuhan mau turun dan
mengubah itu menjadi tubuh dan darah Kristus. Suatu perendahan diri yang lagi
lagi sulit bila dipikir menggunakan logika. Kacamata iman dan kepercayaan
sepenuhnya yang mampu mengatasi semuanya. Saat ini yang terpenting bagiku
adalah aku bisa merasakan entah kapan masanya, setiap orang akan mengalami masa
gurun pasirnya sendiri. Aku merasa untuk menambah kekuatan dan semangat, kita
harus selalu ingat bahwa dengan pengorbanan ini Yesus selalu ada di hati kita
masing-masing, ia tidak pernah lupa pada kita yang lemah tak berdaya ini. Ia akan
selalu ada lewat Ekaristi dan semangat berbagi dari yang kita punya ini.
Di masa
berikutnya, masuklah aku ke dalam Sengsara Yesus. Bagiku di masa ini terlalu
banyak derita yang Yesus ambil bagi dirinya sendiri. Dari awal hidup,
kelahiran, kemiskinan dan berbagai penolakanNya. Ia setia dalam penderitaan.
Maka jika ia harus menderita sendirian menanggung dosa sejibun orang apalagi juga dosaku, aku harus berani untuk ikut
bertanggung jawab terhadap dosa yang kubuat. Aku tidak mau meninggalkan Yesus
sendirian meratap dan berdoa. Apalagi Dia selama ini tidak pernah
meninggalkanku sendirian. Bagiku ada harga yang harus dibayar untuk itu, maka
aku beranikan diri untuk menemaninya menanggung semua penderitaan ini. PenderitanNya
yang terpampang jelas di depanku menyadarkanku akan semua yang kudapat saat
itu.
Dalam sakratul mautNya, Ia memberikan contoh untuk
setia. Menangis sejadinya bahkan kelemahan diakuiNya. Aku melihat Yesus sudah
menyerahkan sepenuhnya hidupNya pada rencana BapaNya. Apa yang dilakukannya memperlihatkan
bagaimana hidup itu berjalan seakan akan sudah semestinya seperti biasanya yang
kita lihat. Ada saatnya aku berusaha mendapatkan mati-matian apa yang
diperjuangkan. Ada juga masanya kita hanya bisa berpasrah dan setia. Yesus
yakin memperlihatkan kepadaku bahwa Ia tidak pernah sendirian. Maka aku juga
percaya saat sendirian, Yesus tidak akan pernah meninggalkan aku. Salib
mengajakku untuk melupakan semua kegelisahan dan kekhawatiranku karena telah Ia
ambil. Ia mengatakan sebuah pesan. “Aku sudah memaafkan mereka semua, aku
mengampuni mereka dan kini saatnya aku maju mengakhiriNya”. Sekejap aku
merasakan bagaimana luka sakitku selama ini yang tidak terhilangkan
dan kemudian bersama Yesus luka itu menghilang. Ia mengajariku untuk memaafkan,
bertahan dan berubah. Sudah saatnya kita membuka masa yang baru dengan
mengakhiri penderitaan ini.
Aku terus
mengikutinya kemanapun Ia pergi. Tibalah akhirnya perenunganku melihatNya
diadili. Ia masuk ke dalam pengadilan yang menurutku sangat tidak layak dan tidak
manusiawi. Dalam ketidakberdayaan dan kesendirianNya, aku merasakan ada
ketakutan dan kesedihan yang mendalam. Dimana pasukan, bodyguard atau apalah yang melindungiNya? Dimana teman-teman dan
murid-muridNya ? Dimanakah keluargaNya? Disitu Ia dikepung musuh sendirian,
tidak adil dan bagiku mereka semua pengecut. Yesus pantas melawan dan mengutuk
mereka semua menjadi batu batinku. Ada keberanianku seorang diri untuk melawan.
Namun yang dilakukanNya hanyalah Diam. Ia terdiam tidak melawan, tidak menjawab
dan terus menatap ke bawah, tanda penyerahanNya pada Allah.
Yesus Diam. Yesus
tidak mau menjawab semua tuduhan ngawur
yang dikatakan oleh para saksi palsu, imam agung hingga kaum farisi. Ia
dipenuhi oleh serangan kebencian musuhNya. Aku merasa sedih dan menangis.
Kenapa dia tidak melawan? Aku bertanya dalam hatiku sendiri. Apakah diam adalah
cara yang bijaksana. Ia terus menatapku dan menjawab dalam hatiNya. Aku
mendengarnya jelas sebuah kebenaran. Diam adalah sarana yang paling efektif
seperti ini untuk menjawab kebenaran. Di dalam diam kamu akan belajar
bersyukur, menerima segala situasi dan bangkit. Diam adalah tanda kedalaman.
Bagiku Yesus mengajak aku diam sebagai cara untuk menyapa hati setiap
anak-anakNya. Melihat semua kefanaan di dunia ini kita harus bisa menarik
sarinya. Dari permenungan ini aku bersyukur karena diingatkan kembali untuk
tetap diam dan bergembira di dalamnya. BagiNya diam adalah sarana untuk semakin
cepat melanggengkan jalan kematianNya bagi toleransi dan menyelamatkan semua
dosa manusia.
Pada akhirnya Ia
harus mati. Pada akhirnya semua cerita yang sudah kususun dengan baik harus
kembali pada akhirnya yang sama. Maka aku pun harus menemui diriNya di hari
ajalNya, Salib. Dalam rangkaian peristiwa salib membuka sebuah pengalaman yang
penting dan merupakan inti dari seluruh retretku selama ini. PERSATUAN CINTA
DENGAN YESUS. Inilah maksud kembali aku diperkenankan menjawab pertanyaan,
kemana selama ini cintaku pada Yesus. Sungguhkah aku melayani demi namaNya.
Ternyata peristiwa salib sungguh membuka mataku akan arti cinta yang
sesungguhnya. Cinta yang membebaskan yang menutup semua kebutuhan psikologisku.
Cinta yang memaafkan semua sakit hatiku akan keputusan staff, angkatan, Gereja
ku, Pekik, Ivan, Hendri dan semua nafsuku menuju kebebasan sejati. Salib itu
telah membawa diriku rasa bebas, lega, tenang dan mengarahkanku pada jalan yang
baru.
Kini pengorbanan
Yesus semakin mempertajam pembedaan roh yang kumiliki dan kepekaan untuk
memahami atas semua pengalaman yang dirasakan. Energi pengampun memberikan
pemahaman baru dan membuka sosok diri dalam diriku untuk menjadi apa yang mau
Yesus lakukan untuk diriku. Persatuan cinta mengajarkanku memaafkan dan
pengampunan sebagai kekuatan misteri cinta yang tak terkalahkan. Semoga aku
dapat mempertahankan karunia yang kudapat sehingga semakin tajam dan berguna
bagi perjalanan panggilanku selanjutnya.
Setelah
kematianNya, bangsa Yahudi sudah sibuk mempersiapkan hari sabat yang tepat
sehari sebelumnya. Biasanya para kepala keluarga sudah mempersiapkan segala
keperluan tetek bengek yang harus
dibawa kesana kemari untuk malam Sabat. Saya merasakan bagaimana tiada lagi
orang yang peduli pada kematianNya karena kesibukan palsu yang dibuat. Hanya
sekumpulan orang yang tersisa mau “membereskan” sisa sisa kekejian yang terjadi
di bukit Golgota. Hari ini kita masuk ke Hari Sepi. Hari berduka mengenang dan
tirakatan bagi Yesus Tuhan kita. Suasana meditasi sangat sepi, bagiku tidak
mengenakkan karena ada rasa kehilangan yang begitu dalam. Padahal aku sendiri
sudah mengetahui bahwa besok Ia akan bangkit, namun melihat Maria tergeletak
lesu seakan membawa diri ikut berkabung.
Maria menunduk
lesu dalam peraduannya. Ia secara manusiawi kehilangan anak kandungnya. Ada
ruang yang tersobek karena tali kasih pertalian kandung itu harus terputus.
Satu sisi Ia akan kehilangan anak satu-satunya yang sungguh dicintainya, satu
sisi Ia harus sanggup menerimanya anaknya kelak sudah bukan miliknya semata
tapi milik semua orang yang percaya kepadaNya. Maria nampaknya sudah
mengikhlaskan dan merestui semua tindakan anaknya. Bagaimanapun Ibu Tuhan tahu
apa tujuan akhir dari tugas anaknya ini. Menemuinya dan berbincang bincang jadi
ingat akan keberadaan orang tuaku sendiri yang akan melepas kepergianku nanti.
Sedih karena aku sudah tidak bisa hadir menemani di samping mereka, juga sedih
karena aku sudah bukan milik mereka sendiri tapi milik Gereja dan umat. Aku
hanya berdoa, semoga kedua orang tuaku diberi kekuatan seperti Maria yang mau
menerima dan menyimpannya di dalam hati.
Selain Maria,
hari sepi memintaku menanyakan para aktor pelaku dan pengecut yang harus
bertanggung jawab pada kematian Tuhanku ini. Melihat wajah ketakutan Petrus,
muka penyesalan Pilatus dan raut kesedihan Yudas tidak membuat saya menuduh
mereka sebagai penjahat. Saya memahami perilaku yang mereka lakukan bukan
semata mata ingin meninggalkan Yesus tapi ada kepentingan lain yang tidak bisa
mereka lakukan. Itulah aku sendiri secara pribadi. Aku melihat sifat ketiga
aktor ini ada di dalam diriku. Keegoisan adalah kata kunci yang segera kudapat.
Seringkali kita sebagai manusia sering melupakan Tuhan sebentar demi pemenuhan
pribadi atau selffull filling.
Nampaknya sederhana tapi jika ditumpuk karena terlalu banyaknya kata nanti dulu atau menunda-nunda, kejahatan
ini bisa membunuh Yesus. Seandainya saja mereka memahami arti pengorbanan dan
cinta sejati yang ditawarkan Yesus, aku yakin mereka akan berusaha
menyelamatkan Tuhannya. Lucu ya, saat ini aku sungguh menyadari dan melihat
dengan jelas apa yang terjadi, karena sering kali aku juga ikut menjadi pelaku
yang melempar batu pada Tuhanku...maafkan aku Tuhan, semoga besok aku terus
menyadarinya.
Pada akhirnya di
sesi ketiga ini aku diajak mulai menegaskan pilihanku yang benar. I am finding my truly right! Berjalan
dalam jalam sempit mengikutinya membukakan mataku siapa kebenaran itu. He is, Yesus adalah Mr. Right. Mungkin selama ini aku tidak pernah serius mencari
dengan hati. Pikiran dan kenyataan yang membuai aku untuk percaya namun belum
mencintainya sepenuh hati. Bagiku mengikutiNya dalam sengsara dan penderitaan
kematianNya cukup membuktikan Ia mencintai aku sepenuhnya. Bagiku, insight yang kudapat adalah proses untuk
mencintai dan belajar mencintai sebagai sesuatu yang berbeda. Cinta pertamaku
adalah panggilanku sedangkan menghidupinya adalah belajar mencintai lagi lebih
dalam sampai aku mati. Ketika menjalani me
time bersamaNya selama 23 hari ini, tidak terasa aku sanggup bertahan.
Bagaimanapun ini karena cintaNya yang tidak membiarkan ku pergi dan diberinya
kesempatan bagiku untuk belajar mencintaiNya. Maafkan aku Yesus telah memberimu
cinta bertepuk sebelah tangan.
Maka cinta adalah
kata kunci permenungan yang kutemukan satu bulan ini. Ia meneguhkan dan
membuktikan cintaNya kepadaku. Melihat Maria yang bersedih bagiku adalah wajar.
Namun kesedihan yang berlarut larut adalah sebuah keegoisan. Begitu juga dengan
hidupku kemarin. Rasa kehilangan, kesedihan karena perpisahan serta
ketertinggalan pasti akan dirasakan semua orang yang mengalaminya. Namun
bagaimana akhirnya aku harus menyikapinya kemudian. Layaknya Maria yang
menyimpan dalam hati dan menyerahkan padaNya juga menjadi inspirasiku untuk
melepas beban itu. Bagaimanapun hidup ini diatur olehNya, kebebasan kitalah
untuk mendoakan pada Yang Terbaik. Maria kembali bergairah kemudian dan
menyadari kepergian anakNya adalah tujuan yang mulia demi menyelamatkan semua
manusia. Maka haruslah Ia bergembira. Begitu juga denganku, jika Yesus Bangkit
dan setelah ini aku melihat semuanya akan baik-baik saja. Saatnya harus mengubah
persepsi karena ada tujuan yang indah dibalik ini semua.
Jalan sempit
mengajakku percaya pada kata SETIA. Setialah walau kau ditinggalkan, tidak
diberi harapan, ditempa dalam keadaan yang tidak jelas. Dari segala
penderitaanmu akan tumbuh pengharapan dan kepercayaan padaNya. Kelak suatu hari
nanti rencana indah akan datang padamu. Seperti panggilan, menjalaninya saja
adalah hal yang membosankan dan sulit. Namun karena kita menghidupinya dan
memberi makna pada hidup kita, panggilan dalam keadaan yang tidak jelas pun
akan tetap indah. Saat ini Tuhan benar memberikan waktu padaku untuk
beristirahat, ia meyakinkan motivasiku untuk tetap menjadi pelayanNya. Banyak
orang-orang terbaik yang kukenal termasuk sahabatku sendiri pergi
meninggalkanNya. Mengapa Tuhan? Ia menjawab, “ Ini bukan soal kemampuan,
intelektual, prestasi atau lain-lain. Tapi ini soal hati, apakah kau mau untuk
terus SETIA memberikan penuh padaKu?”. Ehm,
kasih tau gak ya...Aku mencoba setia padaMu Tuhan, walau aku ditempatkan
dan diutus kemanapun, aku terus menjaga semua amanah yang kauberikan termasuk
persahabatan, keindahan panggilan dan bergembira dalam panggilan. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar