Sabtu, 05 September 2015

Sekumpulan insight : Chapter Three Jalan Sempit




Tidak terasa tiga minggu sudah aku berenung bersamaNya. Aku masuk ke masa Jalan Sempit. Masa dimana saatnya aku meratapi, merenungkan dan hidup dalam kesengsaraan Yesus. Uniknya dalam buku panduan yang aku pakai, aku tidak boleh menjadi orang lain. Aku diminta untuk turut merasakan dan menjadi Yesus di duniaku sendiri. Seandainya aku yang mendapatkan sengsara seperti itu bagaimana akan dapat bertahan? Untungnya dalam bab penutup masa kedua tersebut aku mendapatkan sejumlah insight yang menguatkanku akan perjuangan untuk terus berani dan mengobarkan cinta di manapun aku berada. Yesus mengingatkanku dan membukakan komitmen baru karena Ia memberikan perutusan dan kepercayaan kepada para muridNya untuk melanjutkan karyaNya di dunia. Bagaimanapun aku juga termasuk muridNya sendiri, maka tidak ada alasan apa apa bagiku untuk tidak bergembira dan berani untuk menyatakan cintaNya padaku. Di masa-masa inilah kesempatanku untuk berani menemaniNya.
Dalam perjamuan terakhir, aku melihat sisi kemanusiaan Yesus yang sungguh ingin membuatku menangis. Aku melihat diriNya yang terluka karena Ia tahu bahwa diriNya akan dikhiananti, ditinggal dan didera. Ingin rasanya memeluknya namun aku sendiri merasa Yesus mampu menerima dan membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu. Dengan kasih yang luar biasa Ia masih mau melayani, merendahkan diri untuk mencuci kaki para muridNya yan kotor itu. Sungguh tidak masuk akal bagiku. Seorang Raja mau menyembah rakyatnya. Barangkali saat ini tidak ada Raja di manapun mau seperti itu. Dari penglihatanku ini aku belajar untuk tetap kuat dan bertahan di dalam ketidakadilan. Belajar untuk tetap sabar walaupun menderita dan selalu bersyukur karena Tuhan menyertai hidupku.
Dalam perkembangannya perjamuan Tuhan ini seperti lambang kebersatuan jemaat dengan Yesus melalui Gereja. Saya memahami jika ditarik panjang maknanya secara mendalam. Ada makna berbagi yang mengatakan bahwa Tuhan selalu solider dan memahami permasalahan dan penderitaan umatNya. Lewat perjamuan Tuhan di setiap Ekaristi yang kita ambil, Tuhan mau turun dan mengubah itu menjadi tubuh dan darah Kristus. Suatu perendahan diri yang lagi lagi sulit bila dipikir menggunakan logika. Kacamata iman dan kepercayaan sepenuhnya yang mampu mengatasi semuanya. Saat ini yang terpenting bagiku adalah aku bisa merasakan entah kapan masanya, setiap orang akan mengalami masa gurun pasirnya sendiri. Aku merasa untuk menambah kekuatan dan semangat, kita harus selalu ingat bahwa dengan pengorbanan ini Yesus selalu ada di hati kita masing-masing, ia tidak pernah lupa pada kita yang lemah tak berdaya ini. Ia akan selalu ada lewat Ekaristi dan semangat berbagi dari yang kita punya ini.
                Di masa berikutnya, masuklah aku ke dalam Sengsara Yesus. Bagiku di masa ini terlalu banyak derita yang Yesus ambil bagi dirinya sendiri. Dari awal hidup, kelahiran, kemiskinan dan berbagai penolakanNya. Ia setia dalam penderitaan. Maka jika ia harus menderita sendirian menanggung dosa sejibun orang apalagi juga dosaku, aku harus berani untuk ikut bertanggung jawab terhadap dosa yang kubuat. Aku tidak mau meninggalkan Yesus sendirian meratap dan berdoa. Apalagi Dia selama ini tidak pernah meninggalkanku sendirian. Bagiku ada harga yang harus dibayar untuk itu, maka aku beranikan diri untuk menemaninya menanggung semua penderitaan ini. PenderitanNya yang terpampang jelas di depanku menyadarkanku akan semua yang kudapat saat itu.
Dalam sakratul mautNya, Ia memberikan contoh untuk setia. Menangis sejadinya bahkan kelemahan diakuiNya. Aku melihat Yesus sudah menyerahkan sepenuhnya hidupNya pada rencana BapaNya. Apa yang dilakukannya memperlihatkan bagaimana hidup itu berjalan seakan akan sudah semestinya seperti biasanya yang kita lihat. Ada saatnya aku berusaha mendapatkan mati-matian apa yang diperjuangkan. Ada juga masanya kita hanya bisa berpasrah dan setia. Yesus yakin memperlihatkan kepadaku bahwa Ia tidak pernah sendirian. Maka aku juga percaya saat sendirian, Yesus tidak akan pernah meninggalkan aku. Salib mengajakku untuk melupakan semua kegelisahan dan kekhawatiranku karena telah Ia ambil. Ia mengatakan sebuah pesan. “Aku sudah memaafkan mereka semua, aku mengampuni mereka dan kini saatnya aku maju mengakhiriNya”. Sekejap aku
merasakan bagaimana luka sakitku selama ini yang tidak terhilangkan dan kemudian bersama Yesus luka itu menghilang. Ia mengajariku untuk memaafkan, bertahan dan berubah. Sudah saatnya kita membuka masa yang baru dengan mengakhiri penderitaan ini.
                Aku terus mengikutinya kemanapun Ia pergi. Tibalah akhirnya perenunganku melihatNya diadili. Ia masuk ke dalam pengadilan yang menurutku sangat tidak layak dan tidak manusiawi. Dalam ketidakberdayaan dan kesendirianNya, aku merasakan ada ketakutan dan kesedihan yang mendalam. Dimana pasukan, bodyguard atau apalah yang melindungiNya? Dimana teman-teman dan murid-muridNya ? Dimanakah keluargaNya? Disitu Ia dikepung musuh sendirian, tidak adil dan bagiku mereka semua pengecut. Yesus pantas melawan dan mengutuk mereka semua menjadi batu batinku. Ada keberanianku seorang diri untuk melawan. Namun yang dilakukanNya hanyalah Diam. Ia terdiam tidak melawan, tidak menjawab dan terus menatap ke bawah, tanda penyerahanNya pada Allah.
                Yesus Diam. Yesus tidak mau menjawab semua tuduhan ngawur yang dikatakan oleh para saksi palsu, imam agung hingga kaum farisi. Ia dipenuhi oleh serangan kebencian musuhNya. Aku merasa sedih dan menangis. Kenapa dia tidak melawan? Aku bertanya dalam hatiku sendiri. Apakah diam adalah cara yang bijaksana. Ia terus menatapku dan menjawab dalam hatiNya. Aku mendengarnya jelas sebuah kebenaran. Diam adalah sarana yang paling efektif seperti ini untuk menjawab kebenaran. Di dalam diam kamu akan belajar bersyukur, menerima segala situasi dan bangkit. Diam adalah tanda kedalaman. Bagiku Yesus mengajak aku diam sebagai cara untuk menyapa hati setiap anak-anakNya. Melihat semua kefanaan di dunia ini kita harus bisa menarik sarinya. Dari permenungan ini aku bersyukur karena diingatkan kembali untuk tetap diam dan bergembira di dalamnya. BagiNya diam adalah sarana untuk semakin cepat melanggengkan jalan kematianNya bagi toleransi dan menyelamatkan semua dosa manusia.
                Pada akhirnya Ia harus mati. Pada akhirnya semua cerita yang sudah kususun dengan baik harus kembali pada akhirnya yang sama. Maka aku pun harus menemui diriNya di hari ajalNya, Salib. Dalam rangkaian peristiwa salib membuka sebuah pengalaman yang penting dan merupakan inti dari seluruh retretku selama ini. PERSATUAN CINTA DENGAN YESUS. Inilah maksud kembali aku diperkenankan menjawab pertanyaan, kemana selama ini cintaku pada Yesus. Sungguhkah aku melayani demi namaNya. Ternyata peristiwa salib sungguh membuka mataku akan arti cinta yang sesungguhnya. Cinta yang membebaskan yang menutup semua kebutuhan psikologisku. Cinta yang memaafkan semua sakit hatiku akan keputusan staff, angkatan, Gereja ku, Pekik, Ivan, Hendri dan semua nafsuku menuju kebebasan sejati. Salib itu telah membawa diriku rasa bebas, lega, tenang dan mengarahkanku pada jalan yang baru.
                Kini pengorbanan Yesus semakin mempertajam pembedaan roh yang kumiliki dan kepekaan untuk memahami atas semua pengalaman yang dirasakan. Energi pengampun memberikan pemahaman baru dan membuka sosok diri dalam diriku untuk menjadi apa yang mau Yesus lakukan untuk diriku. Persatuan cinta mengajarkanku memaafkan dan pengampunan sebagai kekuatan misteri cinta yang tak terkalahkan. Semoga aku dapat mempertahankan karunia yang kudapat sehingga semakin tajam dan berguna bagi perjalanan panggilanku selanjutnya.
                Setelah kematianNya, bangsa Yahudi sudah sibuk mempersiapkan hari sabat yang tepat sehari sebelumnya. Biasanya para kepala keluarga sudah mempersiapkan segala keperluan tetek bengek yang harus dibawa kesana kemari untuk malam Sabat. Saya merasakan bagaimana tiada lagi orang yang peduli pada kematianNya karena kesibukan palsu yang dibuat. Hanya sekumpulan orang yang tersisa mau “membereskan” sisa sisa kekejian yang terjadi di bukit Golgota. Hari ini kita masuk ke Hari Sepi. Hari berduka mengenang dan tirakatan bagi Yesus Tuhan kita. Suasana meditasi sangat sepi, bagiku tidak mengenakkan karena ada rasa kehilangan yang begitu dalam. Padahal aku sendiri sudah mengetahui bahwa besok Ia akan bangkit, namun melihat Maria tergeletak lesu seakan membawa diri ikut berkabung.
                Maria menunduk lesu dalam peraduannya. Ia secara manusiawi kehilangan anak kandungnya. Ada ruang yang tersobek karena tali kasih pertalian kandung itu harus terputus. Satu sisi Ia akan kehilangan anak satu-satunya yang sungguh dicintainya, satu sisi Ia harus sanggup menerimanya anaknya kelak sudah bukan miliknya semata tapi milik semua orang yang percaya kepadaNya. Maria nampaknya sudah mengikhlaskan dan merestui semua tindakan anaknya. Bagaimanapun Ibu Tuhan tahu apa tujuan akhir dari tugas anaknya ini. Menemuinya dan berbincang bincang jadi ingat akan keberadaan orang tuaku sendiri yang akan melepas kepergianku nanti. Sedih karena aku sudah tidak bisa hadir menemani di samping mereka, juga sedih karena aku sudah bukan milik mereka sendiri tapi milik Gereja dan umat. Aku hanya berdoa, semoga kedua orang tuaku diberi kekuatan seperti Maria yang mau menerima dan menyimpannya di dalam hati.
                Selain Maria, hari sepi memintaku menanyakan para aktor pelaku dan pengecut yang harus bertanggung jawab pada kematian Tuhanku ini. Melihat wajah ketakutan Petrus, muka penyesalan Pilatus dan raut kesedihan Yudas tidak membuat saya menuduh mereka sebagai penjahat. Saya memahami perilaku yang mereka lakukan bukan semata mata ingin meninggalkan Yesus tapi ada kepentingan lain yang tidak bisa mereka lakukan. Itulah aku sendiri secara pribadi. Aku melihat sifat ketiga aktor ini ada di dalam diriku. Keegoisan adalah kata kunci yang segera kudapat. Seringkali kita sebagai manusia sering melupakan Tuhan sebentar demi pemenuhan pribadi atau selffull filling. Nampaknya sederhana tapi jika ditumpuk karena terlalu banyaknya kata nanti dulu atau menunda-nunda, kejahatan ini bisa membunuh Yesus. Seandainya saja mereka memahami arti pengorbanan dan cinta sejati yang ditawarkan Yesus, aku yakin mereka akan berusaha menyelamatkan Tuhannya. Lucu ya,  saat ini aku sungguh menyadari dan melihat dengan jelas apa yang terjadi, karena sering kali aku juga ikut menjadi pelaku yang melempar batu pada Tuhanku...maafkan aku Tuhan, semoga besok aku terus menyadarinya.
                Pada akhirnya di sesi ketiga ini aku diajak mulai menegaskan pilihanku yang benar. I am finding my truly right! Berjalan dalam jalam sempit mengikutinya membukakan mataku siapa kebenaran itu. He is, Yesus adalah Mr. Right. Mungkin selama ini aku tidak pernah serius mencari dengan hati. Pikiran dan kenyataan yang membuai aku untuk percaya namun belum mencintainya sepenuh hati. Bagiku mengikutiNya dalam sengsara dan penderitaan kematianNya cukup membuktikan Ia mencintai aku sepenuhnya. Bagiku, insight yang kudapat adalah proses untuk mencintai dan belajar mencintai sebagai sesuatu yang berbeda. Cinta pertamaku adalah panggilanku sedangkan menghidupinya adalah belajar mencintai lagi lebih dalam sampai aku mati. Ketika menjalani me time bersamaNya selama 23 hari ini, tidak terasa aku sanggup bertahan. Bagaimanapun ini karena cintaNya yang tidak membiarkan ku pergi dan diberinya kesempatan bagiku untuk belajar mencintaiNya. Maafkan aku Yesus telah memberimu cinta bertepuk sebelah tangan.
                Maka cinta adalah kata kunci permenungan yang kutemukan satu bulan ini. Ia meneguhkan dan membuktikan cintaNya kepadaku. Melihat Maria yang bersedih bagiku adalah wajar. Namun kesedihan yang berlarut larut adalah sebuah keegoisan. Begitu juga dengan hidupku kemarin. Rasa kehilangan, kesedihan karena perpisahan serta ketertinggalan pasti akan dirasakan semua orang yang mengalaminya. Namun bagaimana akhirnya aku harus menyikapinya kemudian. Layaknya Maria yang menyimpan dalam hati dan menyerahkan padaNya juga menjadi inspirasiku untuk melepas beban itu. Bagaimanapun hidup ini diatur olehNya, kebebasan kitalah untuk mendoakan pada Yang Terbaik. Maria kembali bergairah kemudian dan menyadari kepergian anakNya adalah tujuan yang mulia demi menyelamatkan semua manusia. Maka haruslah Ia bergembira. Begitu juga denganku, jika Yesus Bangkit dan setelah ini aku melihat semuanya akan baik-baik saja. Saatnya harus mengubah persepsi karena ada tujuan yang indah dibalik ini semua.
                Jalan sempit mengajakku percaya pada kata SETIA. Setialah walau kau ditinggalkan, tidak diberi harapan, ditempa dalam keadaan yang tidak jelas. Dari segala penderitaanmu akan tumbuh pengharapan dan kepercayaan padaNya. Kelak suatu hari nanti rencana indah akan datang padamu. Seperti panggilan, menjalaninya saja adalah hal yang membosankan dan sulit. Namun karena kita menghidupinya dan memberi makna pada hidup kita, panggilan dalam keadaan yang tidak jelas pun akan tetap indah. Saat ini Tuhan benar memberikan waktu padaku untuk beristirahat, ia meyakinkan motivasiku untuk tetap menjadi pelayanNya. Banyak orang-orang terbaik yang kukenal termasuk sahabatku sendiri pergi meninggalkanNya. Mengapa Tuhan? Ia menjawab, “ Ini bukan soal kemampuan, intelektual, prestasi atau lain-lain. Tapi ini soal hati, apakah kau mau untuk terus SETIA memberikan penuh padaKu?”. Ehm, kasih tau gak ya...Aku mencoba setia padaMu Tuhan, walau aku ditempatkan dan diutus kemanapun, aku terus menjaga semua amanah yang kauberikan termasuk persahabatan, keindahan panggilan dan bergembira dalam panggilan. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar