Selanjutnya
memasuki padang gurun adalah tema yang menjadi sumber ketakutanku. Di tempat
seluas ini ternyata aku sendirian. Gila
pikirku! aku ini nekat apa bagaimana? Kenapa aku pede sekali menjawab tantangan Romo Rektor saat itu. Ah ya sudah, kataku ini mungkin adalah
salibku (kalau mengingat nasihat Romo Haryono, pembimbing rohaniku selama ini).
Menjalani kesendirian ternyata adalah pergulatanku yang selama ini kuolah dan
tidak pernah kutelaah lebih dalam. Dalam perjalanan TOPERku aku memang sendiri.
Tapi kenyataannya ada banyak teman baru, rekan kerja, warga pastoran sehingga aku
pun menikmati tugasku dan akhirnya melupakan kesendirianku. Dengan kata lain
pergulatanku adalah kenyataan aku belum sungguh menikmati kesendirianku karena aku
tidak pernah merasa sendiri. Ditambah pergulatanku selanjutnya adalah menghadapi
ketakutan akan suasana gelap dan kecewaan akan pertanyaan kenapa aku ditugaskan
seperti ini?
Mungkin semua sahabat dan angkatanku tahu kalau aku
tidak berani berada di ruang kosong sendiri dalam kegelapan. Rasanya parno dan menyebalkan. Maka di tengah kegalauanku aku
sebenarnya dipaksa untuk melawan. Lucunya aku sendiri bingung, kok sepertinya ada niat juga untuk berani
merasakan bahwa aku harus melalui ini demi masa depan panggilanku. Akhirnya
kuikuti saja proses ini pelan pelan, sekuat dan sebisaku. Karena akhirnya aku
percaya Ia pasti akan mendukungku.
Setiap hari
kegiatan selama retret adalah perjalanan ke ruang makan di tengah kesunyian,
berdoa dan bermeditasi di kapel retret sendirian. Setiap pagi aku menemani para
romo sepuh dan suster OSF untuk misa harian yang kadang kala kuselingi dengan
bermain organ untuk mereka. Pembimbing retretku saat ini adalah Romo Darminta,
SJ. Seorang imam mantan provincial Jesuit, bapa rohani banyak suster serta
pendamping retret yang handal (tak kusangka kecil-kecil cabe rawit). Di usianya yang senja ia mau meluangkan waktu untuk bertemu
15 menit per hari mendengar refleksi dan menguatkanku. Sisa kegiatan siang dan
sore biasanya kuhadapi semuanya lagi sendirian. Di tengah kesunyian itu, ada
saja dari banyak peserta retret yang kutemui dalam prosesku untuk bertanya, frater ini mau tahbisan ya? kok sendirian, mana angkatannya? Pertanyaan
umum yang sering harus kujawab. Dari sinilah aku mulai menikmati dan mengakui kalau
aku retret agung sendirian lho. Aku mencoba
menjalani 30 hari bersama Yesus dan menikmati setiap detik waktu yang terlewat
bersama Yesus.
Dalam bagiian ‘Peran Allah” aku diminta menyadari
bagaimana Allah berperan kembali dalam hidupku. Tidak terasa sudah 29 tahun
kasih Allah menyertaiku. Tiada henti Ia memberikan apa yang kuinginkan. Banyak
hal yang sesungguhnya adalah modal bagiku untuk membagikan ini semua ke orang
banyak, apalagi sebagai imam besok. Kasih sayang orang tua, perhatian keluarga,
support sahabat dan teman teman.
Semuanya diberikan tiada henti. Semua rencana yang berjalan indah, yang
tentunya juga ada melewati masa masa sulit yang nyatanta bisa diselesaikan
dalam rencanaNya. Semua ini adalah proses yang menguatkanku untuk bertahan di
tengah kebuntuan akan masa depanku saat ini. Memang melewati masa transisi
membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Aku juga percaya ini bisa menjadikan
modal yang menjanjikan untuk melangkah lebih baik lagi.
Tuhan tidak
pernah diam membiarkan anaknya bergulat dalam kesendirian. Segala pencariannya
hari demi hari membuahkan buah syukur yang semakin menguatkanku. Seperti makan
strawberry. Surprise karena kita
tidak pernah tahu mana buah yang asam, manis, busuk dan pahit kalau kita tidak
mengigitnya. Itulah makna hidup, ketika di hari kedua ini aku berulang tahun
untuk kesekian kalinya dalam “kesendirian”.
Rasanya Seminari selalu tahu kapan hari bahagiaku,
selalu saja dalam perantauan ! Aku teringat ketika mengalami padang gurun
pertama di Kelor bersama almarhum Romo Priyambono, Pr dan Romo Kris Black. Untungnya
kedua Romo ini dengan cerianya memberiku inspirasi untuk setia pada perutusan,
dimanapun dan kapanpun. Maka dalam masa padang gurun yang kesekian kalinya ini
aku merasa bersyukur bahwa aku masih dipercaya juga untuk diutus. Ada saja
hiburan dariNya disaat ulang tahunku ini. Aku bertemu dan pertama kalinya
disalami oleh Yang Mulia Yulius Kardinal Darmaatmadja dalam masa tuanya bersama
para Romo Sepuh di Emmaus. Aku begitu terkesan karena beliau sendiri yang
mencolek tanganku dan berkata “Selamat
Ulang Tahun, Tuhan Berkati”. Pengalaman ini membuktikan bahwa sekali lagi
Tuhan tidak tidur. Walau sendiri tapi masih ada berkahnya.
Permenungaku ini mengingatkan
ada banyak kenangan indah yang selalu kubayangkan untuk melihat siapa diriku.
Tapi ada juga yang membuatku prihatin karena aku akan selalu ingat dengan kisah
perjalanan yang sampai membawaku ke tempat ini. Situasi pasca TOPer dalam
tugasku rupanya tidak terbaca baik oleh yang berwenang disana. Ditambah dengan
beberapa krisis panggilan yang kualami karena sahabatku yang pergi
meninggalkanku. Semakin menguatkanku ada banyak ketidakidealan dalam Gereja di
mana mana. Sempat merasa kecewa dan akhirnya ditambah perutusan ini, sebuah
akhir yang cukup baik. Mungkin beberapa orang akan merasa heran apa yang
terjadi padaku. Nampaknya untuk karya dan tugasnya semua berjalan dengan baik
dan bahkan terlihat tidak terjadi apa-apa.
Ya,
bagiku demikianlah yang disebut sebagai panggilan. Panggilan adalah soal hati
dan hidup. Ini pula yang harus kuceritakan. Termasuk kenapa aku begitu
terguncang karena kepergian sahabatku ini. Persahabatku dengan Pekik adalah
kisah indah yang memperlihatkanku arti persahabatan sebenarnya. Ia adalah
sahabat pertamaku ketika menginjakkan kaki di Seminari. Ia selalu setia dan
mengerti apa mauku. Tak pernah sekalipun ia mengecewakan aku, kecuali aku yang
suka mencari cari kesalahannya (maaf ya kik). Dalam hematku dia adalah figur
yang kuidolakan karena kesalehannya, prinsip dan kesetiaannya. Tidak pernah
kulihat dia berani macam macam, ngeyel
atau melanggar aturan seminari. Itu semua dilakukannya karena dia good boy. Berbeda denganku yang selalu
saja menyeretnya dalam masalah karena keisenganku. Kami seperti saling
melengkapi. Pribadinya yang tenang dan aku yang bisa mengisi kelempengannya.
Kembali pada pengertian seminari adalah panggilan,
semua yang dialami belum tentu menjamin seseorang akan bertahan. Selama ini
kehadiran Pekik adalah sosok yang melindungi dan menjadi pemimpin ketika aku mengambil sikap atau bertanya. Dia mengambil
sosok kedewasaan yang lambat laun akhirnya menciptakan sebuah jaminan “Tenang
saja kawan, selama ada aku, kamu akan baik-baik saja”. Sehingga kami pun membangun
komitmen, sebuah janji untuk bersama dalam panggilan. Bagiku, jujur saja
keberadannya menyemangatiku untuk sungguh sungguh dalam api panggilan, karena
kita akan bertemu lagi besok di Kentungan melanjutkan perkuliahan. Mungkin
inilah yang tidak dimengerti akhirnya bagaimana rasanya kehilangan dan
kekecewaanku akan sosok manusia satu ini, yang barangkali juga tidak dimengerti
olehnya.
Dalam perjalanan kemudian tidak ada yang ingat apa
komitmen kami. Tidak ada juga yang mengingatkan masing-masing untuk tetap
setia. Saat hari ulang tahunnya 21 Januari 2015, ia meneleponku dan memberitahu
bahwa ia harus memilih jalan yang lain. Tak ada kata maaf, tak ada kata penyesalan.
Aku pun tahu situasinya, karena ia harus bangkit dan membangun sikap baru. Maka
sejujurnya runtuhlah apa yang kubangun dari awal ini dan sempat membuatku
terjatuh. Klise memang, tapi inilah
kenyataan yang terjadi padaku.
Butuh waktu empat bulan untuk bangkit dan merakit
harapan baru. Dalam permenunganku, seharusnya aku kembali padaNya dalam segala
kesedihanku. Salahnya aku menggantungkan harapan pada manusia, bukan Tuhan.
Berangkat dari pengalaman ini aku pun tidak menyesal karena ini membangunkanku
akan arti hidup. Kisah persahabatan bukan cerita dongeng. Itu tetap bisa
dipercaya dan terjadi dalam hidupku. Namun ada satu mindset baru yang aku bangun. Persahabatan tidak boleh mengubah
prinsip dan menjadikannya ketergantungan. Saat aku bercerita dalam kisah ini
hubunganku tetap baik dan kami saling menguatkan dengan panggilanku
masing-masing. Aku menyadari ini bukan sebuah kesalahan, karena ini adalah
sebuah awal pelajaran yang berharga dalam panggilanku.
Kisah ini
sedikitnya menjadi salah satu motivasiku untuk bangkit, be a new born. Aku pun kini sudah merajut hari-hari baru yang akan penuh
harapan dan tentunya sebuah kesempatan baru. Permenunganku pun terus berjalan.
Kelahiran Umat Allah di Padang Gurun adalah awal pijakan bagiku untuk
melangkah. Kisah bangsa Israel ini mengajak ku untuk selalu bersyukur dalam
setiap keadaan hidup. Berbicara soal perutusanku yang mengecewakan misalnya.
Saat staff memutuskan panggilanku untuk mengulang tanpa pengambilan bukti yang
jelas, informasi dari pembimbing rohani serta mungkin informasi kacangan yang
didapat dari sumber tidak terpercaya di Pakem sempat membuatku merasa Seminari
bersikap tidak adil. Ada apa ini? Apakah ini balas jasa yang dibalas atas semua
yang sudah kulakukan demi seminari?
Bicara seperti
itu mengingatkanku akan perlawanan para seniorku dahulu yang akhirnya malah memperlambat
tahbisannya. Repot kalau sudah seperti itu, apalagi dengan keadaanku sekarang.
Bukannya bertambah baik tapi malahan nanti malah semakin tidak jelas. Maka dari
semua pengalaman ini aku diingatkan lagi untuk selalu bersyukur. Kalau
seandainya waktu berjalan demikian, mana pernah aku mendapat pengalaman
berharga Retret Agung seperti ini. Punya banyak waktu me time bersamaNya bahkan aku bisa punya waktu untuk menulis sebuah
refleksi indah yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Rasa syukur ini juga
bertambah ketika apa yang kulakukan semua ini ternyata dapat terlaksana dengan
baik. Gereja tidak pernah melarangku untuk melakukan hobiku travelling, wisata kuliner atau pun
berselancar dalam berelasi dengan rekan kerja dan donatur siapapun. Aku
tersadar ini juga semua bukan karena kepentinganku semata tapi menjaga relasi
baik yang sudah dibuat Seminari dan kantorku dulu.
Bicara soal aku
kalau kata teman-temanku para frater, aku selalu beruntung. Aku merasa ini
bukan keberuntungan tetapi karena Tuhan mencintai aku. Bayangkan diutus saja
masih di tempat yang enak. Setelah Retret Agung ini aku mendapat kepercayaan
untuk berkarya di Paroki Wedi. Ketika Seminari melihat bahwa aku harus banyak
beristirahat dan tidak larut dalam pekerjaan, mereka memberikan sebuah Galilea
bagiku, kembali ke asal. Sebagai informasi dahulu tempat awalku mulai
menumbuhkan panggilan adalah di paroki Wedi. Paroki yang bersejarah dalam
hidupku karena disini aku berkenalan dengan budaya Jawa yang sama sekali tidak
kumengerti apa maksudnya (saat itu). Banyak juga kenangan dan perisitiwa yang
membuatku teringat bagaimana aku tertarik untuk menjadi seorang imam. Mungkin
saat itu aku terpincut oleh aura dan situasi Gereja yang menenangkanku dan akhirnya
membuatku jatuh cinta pada panggilan. Tidak terasa peristiwa 6 tahun lalu itu
berlalu dan kini harus ku mulai lagi dari awal menjadi sebuah kisah baru yang
akan kurajut dalam tahun kefrateranku, tahun pastoral yang kedua.
Terima kasih pada
Yesus karena akhirnya padang gurun telah berlalu. Aku sungguh menikmati untuk
tetap tenang dalam menikmati kesendirian. Aku juga belajar banyak soal kata
kesendirian. Awalnya aku takut karena memahami analogi kesendirian dengan
kesepian, melangut bahkan ibaratnya
seperti lonely. Namun selangkah satu
demi satu aku belajar menerima bahwa kesendirian adalah proses yang harus
kualami sebagai penyadaran diri bahwa aku akan hidup sendiri. Sendiri tidak
beristri, sendirian sehingga kalau di pastoran malam malam pasti akan sepi.
Makanya sebelum aku merasakan sendiri, aku harus mulai mencicipi kesendirian
ini.
Pertanyaan
selanjutnya adalah apa yang menyebabkan seseorang betah untuk sendirian seperti
kisah para rahib di rawaseneng? Syukur pada Allah dalam tema selanjutnya aku
menemukan kalau sendirian itu bukan hanya ada dia personal saja dalam
pertapaannya. Tapi ada Dia yang menemani. Sulit memang untuk digambarkan tapi
mudah untuk dirasakan. Ada semangat yang menguatkan bahkan menghendaki ku harus
bersemangat mengikuti Retret hingga selesai. Kapan lagi ada waktu yang bisa kuberikan
bila tidak mengikuti Retret ini denganNya. Lucu
ya, aku ini calon rohaniwan kok
tidak ada waktu untukNya? Tapi inilah kenyataannya.
Aku memang memberikannya hanya saat misa, ibadat di
lingkungan dan doa brevier. Aku merasa imanku dan kebutuhanku sudah cukup. Tak
pernah berpikir juga bahwa akhirnya hanya merasakan berkatnya sebatas kulitNya
saja. Bagiku Yesus kan selalu ada di
hatiku, jadi aku bisa berkomunikasi denganNya langsung kapan pun aku suka.
Caraku yang ternyata menganggap remeh arti sendiri denganNya menginabobokanku
sehingga akhirnya tak terasa panggilanku pun tergerus bahkan membahayakan nasib
imamatku. Jelas saja saat itu ada rasanya perasaan ingin keluar dan sungguh
bosan rasanya menjalani rutinitas itu itu saja. Ini semua kutemukan dalam
refleksiku ini.
Yesus mengajakku
untuk selalu bersikap rendah hati. Secara prinsip belajar dari Ibu Maria.
Penjelmaan Yesus temaku hari ketujuh mengajak ku untuk mampu seperti Maria,
berani menanggung malu sekaligus tetap tabah dan percaya pada kekuatan Tuhan.
Bagaimanapun Tuhan akan menyempurnakan rencanya kapanpun, dimanapun.
Sesungguhnya selama ini aku lupa bahwa yang mengusahakan hidupku hingga detik
dan hari ini adalah Tuhan sendiri. Aku lupa akan rasa semangatku ketika
menerima dan menjawa panggilannya adalah untuk melayani Tuhan sendiri. Aku lupa
bagaimana betapa hebat dan hangat karya kasihNya. Namun untungnya Tuhan tidak
pernah hidupku berlarut larut tak karuan. Ia memberikan tanganNya sehingga bisa
kulewati masa ini.
Detik demi detik
kulalui kesunyian ini seorang diri. Memang selama aku retret agung ditemani
oleh kedua kakak kelasku dari konggergasi O.M.I yang sebentar lagi akan
menjalankan program imamatnya, Fr. Maryanto dan Fr. Alya Deni. Keduanya
mengenalku dan memberi semangat untuk berproses bersama, meski faktanya kami
berjalan masing-masing untuk mencari arah panggilan kami sendiri. Bagiku ini
adalah sebuah proses. Proses yang sangat berarti untuk menetapkan hati
bagaimana aku nantinya melihat masa depanku.
Kesendirian
inilah yang justru membawaku pada sebuah kesempatan yang lapang melihat diriku
secara nyata. Melihat bagaimana hidupku selama ini. Ada banyak makna yang
kutemukan bagiku. Awalnya berat karena isinya adalah pertanyaan yang sangat
banyak. Pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh para staff, mengapa aku
diperlakukan seperti ini? Ada nada kemarahan dan protes yang besar selama
minggu pertama. Rasanya dalam menjalankan meditasi, semua arah cerita dan
pertemuan Tuhan adalah soal menjawab ketidakpuasan hati akan situasi. Satu demi
satu tema mulai membantuku mengurut urut peristiwa. “Aku kurang apa lagi Tuhan?” . Tapi itu semua ternyata membawaku
pada sebuah jawaban “Mengapa aku sibuk
mencari kesalahan orang lain terhadap diriku? Cukuplah melihat secara pribadi
apa yang kurang”. Bahkan Romo Darminta, SJ sendiri hanya berkata “ Mudah Frater, daripada mikirin orang lain
dan urusan yang kita tidak tahu, lihat saja diri sendiri. Kalau kurang yang
diperbaiki kalau bagus ya dipertahankan. Sederhana kan?”.
Aku pun
tertawa dan hanya berpikir, jika memang ini sebuah tantangan kenapa kubuat
pusing. Apalagi ini kan perutusan, jalani saja dan nikmati. Aku sendiri
menyadari terlalu banyaklah yang kupikirkan dan belum tentu kejadian. Belajar
kembali dari Maria, biarlah Allah yang memikirkan dan kita menjalankan.
Serahkan semuanya kepadaNya, kita ini hanya alatnya. Satu lagi semangat
sederhana yang kudapat untuk membuatku lebih tenang lagi. Biarlah aku menjadi
seperti Elisabeth yang bergembira menerima setiap sentuhan Tuhan ketika ia
dikunjungi olehNya. Tugas kita adalah merefleksikan dan mengevaluasi di masa
yang sangat personal ini, apa yang harus aku perbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar