Sabtu, 22 Agustus 2015

Sekumpulan Insight : Chapter One - Pergi ke Gurun



                Selanjutnya memasuki padang gurun adalah tema yang menjadi sumber ketakutanku. Di tempat seluas ini ternyata aku sendirian. Gila pikirku! aku ini nekat apa bagaimana? Kenapa aku pede sekali menjawab tantangan Romo Rektor saat itu. Ah ya sudah, kataku ini mungkin adalah salibku (kalau mengingat nasihat Romo Haryono, pembimbing rohaniku selama ini). Menjalani kesendirian ternyata adalah pergulatanku yang selama ini kuolah dan tidak pernah kutelaah lebih dalam. Dalam perjalanan TOPERku aku memang sendiri. Tapi kenyataannya ada banyak teman baru, rekan kerja, warga pastoran sehingga aku pun menikmati tugasku dan akhirnya melupakan kesendirianku. Dengan kata lain pergulatanku adalah kenyataan aku belum sungguh menikmati kesendirianku karena aku tidak pernah merasa sendiri. Ditambah pergulatanku selanjutnya adalah menghadapi ketakutan akan suasana gelap dan kecewaan akan pertanyaan kenapa aku ditugaskan seperti ini?
Mungkin semua sahabat dan angkatanku tahu kalau aku tidak berani berada di ruang kosong sendiri dalam kegelapan. Rasanya parno  dan menyebalkan. Maka di tengah kegalauanku aku sebenarnya dipaksa untuk melawan. Lucunya aku sendiri bingung, kok sepertinya ada niat juga untuk berani merasakan bahwa aku harus melalui ini demi masa depan panggilanku. Akhirnya kuikuti saja proses ini pelan pelan, sekuat dan sebisaku. Karena akhirnya aku percaya Ia pasti akan mendukungku.
                Setiap hari kegiatan selama retret adalah perjalanan ke ruang makan di tengah kesunyian, berdoa dan bermeditasi di kapel retret sendirian. Setiap pagi aku menemani para romo sepuh dan suster OSF untuk misa harian yang kadang kala kuselingi dengan bermain organ untuk mereka. Pembimbing retretku saat ini adalah Romo Darminta, SJ. Seorang imam mantan provincial Jesuit, bapa rohani banyak suster serta pendamping retret yang handal (tak kusangka kecil-kecil cabe rawit). Di usianya yang senja ia mau meluangkan waktu untuk bertemu 15 menit per hari mendengar refleksi dan menguatkanku. Sisa kegiatan siang dan sore biasanya kuhadapi semuanya lagi sendirian. Di tengah kesunyian itu, ada saja dari banyak peserta retret yang kutemui dalam prosesku untuk bertanya, frater ini mau tahbisan ya? kok sendirian, mana angkatannya? Pertanyaan umum yang sering harus kujawab. Dari sinilah aku mulai menikmati dan mengakui kalau aku retret agung sendirian lho. Aku mencoba menjalani 30 hari bersama Yesus dan menikmati setiap detik waktu yang terlewat bersama Yesus.
Dalam bagiian ‘Peran Allah” aku diminta menyadari bagaimana Allah berperan kembali dalam hidupku. Tidak terasa sudah 29 tahun kasih Allah menyertaiku. Tiada henti Ia memberikan apa yang kuinginkan. Banyak hal yang sesungguhnya adalah modal bagiku untuk membagikan ini semua ke orang banyak, apalagi sebagai imam besok. Kasih sayang orang tua, perhatian keluarga, support sahabat dan teman teman. Semuanya diberikan tiada henti. Semua rencana yang berjalan indah, yang tentunya juga ada melewati masa masa sulit yang nyatanta bisa diselesaikan dalam rencanaNya. Semua ini adalah proses yang menguatkanku untuk bertahan di tengah kebuntuan akan masa depanku saat ini. Memang melewati masa transisi membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Aku juga percaya ini bisa menjadikan modal yang menjanjikan untuk melangkah lebih baik lagi.
                Tuhan tidak pernah diam membiarkan anaknya bergulat dalam kesendirian. Segala pencariannya hari demi hari membuahkan buah syukur yang semakin menguatkanku. Seperti makan strawberry. Surprise karena kita tidak pernah tahu mana buah yang asam, manis, busuk dan pahit kalau kita tidak mengigitnya. Itulah makna hidup, ketika di hari kedua ini aku berulang tahun untuk kesekian kalinya dalam “kesendirian”.
Rasanya Seminari selalu tahu kapan hari bahagiaku, selalu saja dalam perantauan ! Aku teringat ketika mengalami padang gurun pertama di Kelor bersama almarhum Romo Priyambono, Pr dan Romo Kris Black. Untungnya kedua Romo ini dengan cerianya memberiku inspirasi untuk setia pada perutusan, dimanapun dan kapanpun. Maka dalam masa padang gurun yang kesekian kalinya ini aku merasa bersyukur bahwa aku masih dipercaya juga untuk diutus. Ada saja hiburan dariNya disaat ulang tahunku ini. Aku bertemu dan pertama kalinya disalami oleh Yang Mulia Yulius Kardinal Darmaatmadja dalam masa tuanya bersama para Romo Sepuh di Emmaus. Aku begitu terkesan karena beliau sendiri yang mencolek tanganku dan berkata “Selamat Ulang Tahun, Tuhan Berkati”. Pengalaman ini membuktikan bahwa sekali lagi Tuhan tidak tidur. Walau sendiri tapi masih ada berkahnya.
                Permenungaku ini mengingatkan ada banyak kenangan indah yang selalu kubayangkan untuk melihat siapa diriku. Tapi ada juga yang membuatku prihatin karena aku akan selalu ingat dengan kisah perjalanan yang sampai membawaku ke tempat ini. Situasi pasca TOPer dalam tugasku rupanya tidak terbaca baik oleh yang berwenang disana. Ditambah dengan beberapa krisis panggilan yang kualami karena sahabatku yang pergi meninggalkanku. Semakin menguatkanku ada banyak ketidakidealan dalam Gereja di mana mana. Sempat merasa kecewa dan akhirnya ditambah perutusan ini, sebuah akhir yang cukup baik. Mungkin beberapa orang akan merasa heran apa yang terjadi padaku. Nampaknya untuk karya dan tugasnya semua berjalan dengan baik dan bahkan terlihat tidak terjadi apa-apa.
Ya, bagiku demikianlah yang disebut sebagai panggilan. Panggilan adalah soal hati dan hidup. Ini pula yang harus kuceritakan. Termasuk kenapa aku begitu terguncang karena kepergian sahabatku ini. Persahabatku dengan Pekik adalah kisah indah yang memperlihatkanku arti persahabatan sebenarnya. Ia adalah sahabat pertamaku ketika menginjakkan kaki di Seminari. Ia selalu setia dan mengerti apa mauku. Tak pernah sekalipun ia mengecewakan aku, kecuali aku yang suka mencari cari kesalahannya (maaf ya kik). Dalam hematku dia adalah figur yang kuidolakan karena kesalehannya, prinsip dan kesetiaannya. Tidak pernah kulihat dia berani macam macam, ngeyel atau melanggar aturan seminari. Itu semua dilakukannya karena dia good boy. Berbeda denganku yang selalu saja menyeretnya dalam masalah karena keisenganku. Kami seperti saling melengkapi. Pribadinya yang tenang dan aku yang bisa mengisi kelempengannya.
Kembali pada pengertian seminari adalah panggilan, semua yang dialami belum tentu menjamin seseorang akan bertahan. Selama ini kehadiran Pekik adalah sosok yang melindungi dan menjadi pemimpin ketika aku mengambil sikap atau bertanya. Dia mengambil sosok kedewasaan yang lambat laun akhirnya menciptakan sebuah jaminan “Tenang saja kawan, selama ada aku, kamu akan baik-baik saja”. Sehingga kami pun membangun komitmen, sebuah janji untuk bersama dalam panggilan. Bagiku, jujur saja keberadannya menyemangatiku untuk sungguh sungguh dalam api panggilan, karena kita akan bertemu lagi besok di Kentungan melanjutkan perkuliahan. Mungkin inilah yang tidak dimengerti akhirnya bagaimana rasanya kehilangan dan kekecewaanku akan sosok manusia satu ini, yang barangkali juga tidak dimengerti olehnya.
Dalam perjalanan kemudian tidak ada yang ingat apa komitmen kami. Tidak ada juga yang mengingatkan masing-masing untuk tetap setia. Saat hari ulang tahunnya 21 Januari 2015, ia meneleponku dan memberitahu bahwa ia harus memilih jalan yang lain. Tak ada kata maaf, tak ada kata penyesalan. Aku pun tahu situasinya, karena ia harus bangkit dan membangun sikap baru. Maka sejujurnya runtuhlah apa yang kubangun dari awal ini dan sempat membuatku terjatuh. Klise memang, tapi inilah kenyataan yang terjadi padaku.
Butuh waktu empat bulan untuk bangkit dan merakit harapan baru. Dalam permenunganku, seharusnya aku kembali padaNya dalam segala kesedihanku. Salahnya aku menggantungkan harapan pada manusia, bukan Tuhan. Berangkat dari pengalaman ini aku pun tidak menyesal karena ini membangunkanku akan arti hidup. Kisah persahabatan bukan cerita dongeng. Itu tetap bisa dipercaya dan terjadi dalam hidupku. Namun ada satu mindset baru yang aku bangun. Persahabatan tidak boleh mengubah prinsip dan menjadikannya ketergantungan. Saat aku bercerita dalam kisah ini hubunganku tetap baik dan kami saling menguatkan dengan panggilanku masing-masing. Aku menyadari ini bukan sebuah kesalahan, karena ini adalah sebuah awal pelajaran yang berharga dalam panggilanku.
                Kisah ini sedikitnya menjadi salah satu motivasiku untuk bangkit, be a new born. Aku pun kini sudah merajut hari-hari baru yang akan penuh harapan dan tentunya sebuah kesempatan baru. Permenunganku pun terus berjalan. Kelahiran Umat Allah di Padang Gurun adalah awal pijakan bagiku untuk melangkah. Kisah bangsa Israel ini mengajak ku untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan hidup. Berbicara soal perutusanku yang mengecewakan misalnya. Saat staff memutuskan panggilanku untuk mengulang tanpa pengambilan bukti yang jelas, informasi dari pembimbing rohani serta mungkin informasi kacangan yang didapat dari sumber tidak terpercaya di Pakem sempat membuatku merasa Seminari bersikap tidak adil. Ada apa ini? Apakah ini balas jasa yang dibalas atas semua yang sudah kulakukan demi seminari?
                Bicara seperti itu mengingatkanku akan perlawanan para seniorku dahulu yang akhirnya malah memperlambat tahbisannya. Repot kalau sudah seperti itu, apalagi dengan keadaanku sekarang. Bukannya bertambah baik tapi malahan nanti malah semakin tidak jelas. Maka dari semua pengalaman ini aku diingatkan lagi untuk selalu bersyukur. Kalau seandainya waktu berjalan demikian, mana pernah aku mendapat pengalaman berharga Retret Agung seperti ini. Punya banyak waktu me time bersamaNya bahkan aku bisa punya waktu untuk menulis sebuah refleksi indah yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Rasa syukur ini juga bertambah ketika apa yang kulakukan semua ini ternyata dapat terlaksana dengan baik. Gereja tidak pernah melarangku untuk melakukan hobiku travelling, wisata kuliner atau pun berselancar dalam berelasi dengan rekan kerja dan donatur siapapun. Aku tersadar ini juga semua bukan karena kepentinganku semata tapi menjaga relasi baik yang sudah dibuat Seminari dan kantorku dulu.
                Bicara soal aku kalau kata teman-temanku para frater, aku selalu beruntung. Aku merasa ini bukan keberuntungan tetapi karena Tuhan mencintai aku. Bayangkan diutus saja masih di tempat yang enak. Setelah Retret Agung ini aku mendapat kepercayaan untuk berkarya di Paroki Wedi. Ketika Seminari melihat bahwa aku harus banyak beristirahat dan tidak larut dalam pekerjaan, mereka memberikan sebuah Galilea bagiku, kembali ke asal. Sebagai informasi dahulu tempat awalku mulai menumbuhkan panggilan adalah di paroki Wedi. Paroki yang bersejarah dalam hidupku karena disini aku berkenalan dengan budaya Jawa yang sama sekali tidak kumengerti apa maksudnya (saat itu). Banyak juga kenangan dan perisitiwa yang membuatku teringat bagaimana aku tertarik untuk menjadi seorang imam. Mungkin saat itu aku terpincut oleh aura dan situasi Gereja yang menenangkanku dan akhirnya membuatku jatuh cinta pada panggilan. Tidak terasa peristiwa 6 tahun lalu itu berlalu dan kini harus ku mulai lagi dari awal menjadi sebuah kisah baru yang akan kurajut dalam tahun kefrateranku, tahun pastoral yang kedua.
                Terima kasih pada Yesus karena akhirnya padang gurun telah berlalu. Aku sungguh menikmati untuk tetap tenang dalam menikmati kesendirian. Aku juga belajar banyak soal kata kesendirian. Awalnya aku takut karena memahami analogi kesendirian dengan kesepian, melangut bahkan ibaratnya seperti lonely. Namun selangkah satu demi satu aku belajar menerima bahwa kesendirian adalah proses yang harus kualami sebagai penyadaran diri bahwa aku akan hidup sendiri. Sendiri tidak beristri, sendirian sehingga kalau di pastoran malam malam pasti akan sepi. Makanya sebelum aku merasakan sendiri, aku harus mulai mencicipi kesendirian ini.
                Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang menyebabkan seseorang betah untuk sendirian seperti kisah para rahib di rawaseneng? Syukur pada Allah dalam tema selanjutnya aku menemukan kalau sendirian itu bukan hanya ada dia personal saja dalam pertapaannya. Tapi ada Dia yang menemani. Sulit memang untuk digambarkan tapi mudah untuk dirasakan. Ada semangat yang menguatkan bahkan menghendaki ku harus bersemangat mengikuti Retret hingga selesai. Kapan lagi ada waktu yang bisa kuberikan bila tidak mengikuti Retret ini denganNya. Lucu ya, aku ini calon rohaniwan kok tidak ada waktu untukNya? Tapi inilah kenyataannya.
Aku memang memberikannya hanya saat misa, ibadat di lingkungan dan doa brevier. Aku merasa imanku dan kebutuhanku sudah cukup. Tak pernah berpikir juga bahwa akhirnya hanya merasakan berkatnya sebatas kulitNya saja. Bagiku Yesus kan selalu ada di hatiku, jadi aku bisa berkomunikasi denganNya langsung kapan pun aku suka. Caraku yang ternyata menganggap remeh arti sendiri denganNya menginabobokanku sehingga akhirnya tak terasa panggilanku pun tergerus bahkan membahayakan nasib imamatku. Jelas saja saat itu ada rasanya perasaan ingin keluar dan sungguh bosan rasanya menjalani rutinitas itu itu saja. Ini semua kutemukan dalam refleksiku ini.
                Yesus mengajakku untuk selalu bersikap rendah hati. Secara prinsip belajar dari Ibu Maria. Penjelmaan Yesus temaku hari ketujuh mengajak ku untuk mampu seperti Maria, berani menanggung malu sekaligus tetap tabah dan percaya pada kekuatan Tuhan. Bagaimanapun Tuhan akan menyempurnakan rencanya kapanpun, dimanapun. Sesungguhnya selama ini aku lupa bahwa yang mengusahakan hidupku hingga detik dan hari ini adalah Tuhan sendiri. Aku lupa akan rasa semangatku ketika menerima dan menjawa panggilannya adalah untuk melayani Tuhan sendiri. Aku lupa bagaimana betapa hebat dan hangat karya kasihNya. Namun untungnya Tuhan tidak pernah hidupku berlarut larut tak karuan. Ia memberikan tanganNya sehingga bisa kulewati masa ini.
                Detik demi detik kulalui kesunyian ini seorang diri. Memang selama aku retret agung ditemani oleh kedua kakak kelasku dari konggergasi O.M.I yang sebentar lagi akan menjalankan program imamatnya, Fr. Maryanto dan Fr. Alya Deni. Keduanya mengenalku dan memberi semangat untuk berproses bersama, meski faktanya kami berjalan masing-masing untuk mencari arah panggilan kami sendiri. Bagiku ini adalah sebuah proses. Proses yang sangat berarti untuk menetapkan hati bagaimana aku nantinya melihat masa depanku.
 Kesendirian inilah yang justru membawaku pada sebuah kesempatan yang lapang melihat diriku secara nyata. Melihat bagaimana hidupku selama ini. Ada banyak makna yang kutemukan bagiku. Awalnya berat karena isinya adalah pertanyaan yang sangat banyak. Pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh para staff, mengapa aku diperlakukan seperti ini? Ada nada kemarahan dan protes yang besar selama minggu pertama. Rasanya dalam menjalankan meditasi, semua arah cerita dan pertemuan Tuhan adalah soal menjawab ketidakpuasan hati akan situasi. Satu demi satu tema mulai membantuku mengurut urut peristiwa. “Aku kurang apa lagi Tuhan?” . Tapi itu semua ternyata membawaku pada sebuah jawaban “Mengapa aku sibuk mencari kesalahan orang lain terhadap diriku? Cukuplah melihat secara pribadi apa yang kurang”. Bahkan Romo Darminta, SJ sendiri hanya berkata “ Mudah Frater, daripada mikirin orang lain dan urusan yang kita tidak tahu, lihat saja diri sendiri. Kalau kurang yang diperbaiki kalau bagus ya dipertahankan. Sederhana kan?”.
 Aku pun tertawa dan hanya berpikir, jika memang ini sebuah tantangan kenapa kubuat pusing. Apalagi ini kan perutusan, jalani saja dan nikmati. Aku sendiri menyadari terlalu banyaklah yang kupikirkan dan belum tentu kejadian. Belajar kembali dari Maria, biarlah Allah yang memikirkan dan kita menjalankan. Serahkan semuanya kepadaNya, kita ini hanya alatnya. Satu lagi semangat sederhana yang kudapat untuk membuatku lebih tenang lagi. Biarlah aku menjadi seperti Elisabeth yang bergembira menerima setiap sentuhan Tuhan ketika ia dikunjungi olehNya. Tugas kita adalah merefleksikan dan mengevaluasi di masa yang sangat personal ini, apa yang harus aku perbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar