Sabtu, 15 Agustus 2015

Mengapa aku harus retret Agung ?




                Ya kembali pada konteks judul ini kisahkku berawal ketika aku diutus oleh pimpinanku untuk mengikuti retret agung. Ya harusnya kutulis huruf besar seperti ini, RETRET AGUNG. Sungguh hiperbolis memang tapi karena ini bukan peristiwa sepele yang biasa dialami oleh seorang biarawan/wati, seorang calon imam bahkan romo sekalipun (katanya curhat salah seorang Romo Yunior KAS). Peristiwa ini katanya punya banyak arti atau bisa disebut istimewa, karena biasanya tradisi ini hanya terjadi pada sekian puluh tahun pada mereka karena suatu hal seperti perutusan khusus, persiapan mendapatkan anugerah rahmat tahbisan atau biasanya untuk para biarawan/biarawati selalu digunakan untuk persiapan kaul kekalnya.
Kemudian selain itu dari pelaksanaannya biayanya sangat mahal (ini bagiku sendiri lho), penyelenggaraan retret agung pun juga tidak sembarangan. Selain butuh persiapan iman juga kesehatan bagi si pembuat retret. Dapat dibayangkan selama 30 hari berturut turut pembuat retret harus bergumul dalam panggilannya seorang diri menjawab kemana ia akan diutus. Banyak orang sebenarnya mendambakan retret agung, apalagi katanya bisa mengubah, memutuskan dan memperbaharui hati seseorang. Seperti emausku Frater Krisna yang katanya juga pengen. Kata salah satu sahabatku suster OP,  malahan mengatakan ini kesempatan berharga untuk asyiknya berhoneymoon dengan Gusti, “Nanti disana tidak ada yang ganggu, puas dan mantab!”. Lain lagi kata sahabatku Suster Lidwina, FCJ baginya retret agung sungguh bisa merubah semua hidup kita. Cinta kita akan semakin jelas dan terang bagiNya. Kita akan memiliki cinta sejati.
Nah bagaimana dengan bagianku? Aku akan mendapatkan keistimewaan apa ya? Aku kan sudah merasakan cinta, memilikinya dan menggunakannya? Apa karena ini aku akan diutus ? atau malah para staff seminari sebenarnya meragukan panggilanku biar sekalian kabur saja karena aku bakalan tidak tahan. Sehingga cinta yang kumiliki kurang bermakna dan membuatNya bertanya kembali? Apakah panggilanku ini dangkal? Ah...gurauan dan pertanyaan nakal ini membuat aku menjadi semakin berdebar debar. Tak sabar aku ingin menghadapinya dan merasakan candradimuka ini. Refleksi pertama ini menjadi pengantar kisahku untuk masuk, mencoba menggali menemukan diriku dan mengenal sebagai modal bertemu kembali denganNya. Dibayangakan bertemu hanya berdua, romantis tapi juga degdegan. Apa yang akan terjadi besok?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar