Ya kembali pada
konteks judul ini kisahkku berawal ketika aku diutus oleh pimpinanku untuk
mengikuti retret agung. Ya harusnya kutulis huruf besar seperti ini, RETRET
AGUNG. Sungguh hiperbolis memang tapi karena ini bukan peristiwa sepele yang
biasa dialami oleh seorang biarawan/wati, seorang calon imam bahkan romo
sekalipun (katanya curhat salah seorang Romo Yunior KAS). Peristiwa ini katanya
punya banyak arti atau bisa disebut istimewa, karena biasanya tradisi ini hanya
terjadi pada sekian puluh tahun pada mereka karena suatu hal seperti perutusan
khusus, persiapan mendapatkan anugerah rahmat tahbisan atau biasanya untuk para
biarawan/biarawati selalu digunakan untuk persiapan kaul kekalnya.
Kemudian selain itu dari pelaksanaannya biayanya
sangat mahal (ini bagiku sendiri lho),
penyelenggaraan retret agung pun juga tidak sembarangan. Selain butuh persiapan
iman juga kesehatan bagi si pembuat retret. Dapat dibayangkan selama 30 hari
berturut turut pembuat retret harus bergumul dalam panggilannya seorang diri
menjawab kemana ia akan diutus. Banyak orang sebenarnya mendambakan retret
agung, apalagi katanya bisa mengubah, memutuskan dan memperbaharui hati
seseorang. Seperti emausku Frater Krisna yang katanya juga pengen. Kata salah satu sahabatku suster OP, malahan mengatakan ini kesempatan berharga
untuk asyiknya berhoneymoon dengan
Gusti, “Nanti disana tidak ada yang
ganggu, puas dan mantab!”. Lain lagi kata sahabatku Suster Lidwina, FCJ baginya
retret agung sungguh bisa merubah semua hidup kita. Cinta kita akan semakin
jelas dan terang bagiNya. Kita akan memiliki cinta sejati.
Nah bagaimana
dengan bagianku? Aku akan mendapatkan keistimewaan apa ya? Aku kan sudah merasakan cinta, memilikinya dan menggunakannya? Apa
karena ini aku akan diutus ? atau malah para staff seminari sebenarnya
meragukan panggilanku biar sekalian kabur saja karena aku bakalan tidak tahan. Sehingga
cinta yang kumiliki kurang bermakna dan membuatNya bertanya kembali? Apakah
panggilanku ini dangkal? Ah...gurauan
dan pertanyaan nakal ini membuat aku menjadi semakin berdebar debar. Tak sabar
aku ingin menghadapinya dan merasakan candradimuka
ini. Refleksi pertama ini menjadi pengantar kisahku untuk masuk, mencoba
menggali menemukan diriku dan mengenal sebagai modal bertemu kembali denganNya.
Dibayangakan bertemu hanya berdua, romantis tapi juga degdegan. Apa yang akan terjadi besok?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar