Saat ini sudah tidak terasa 6 tahun sudah aku
bergumul dan menghidupi panggilanku sebagai seorang frater. Tidak terasa pula
bagaimana sebetulnya aku sudah mengumpulkan banyak kisah yang kuhidupi sebagai
cara semangatku hadir sebagai hamba Tuhan. Perjuangan yang kalau dipikir pikir
luar biasa dan tidak mungkin jika kulalui sendiri tanpa tangan terang Tuhan.
Bagaimana tidak, jika diminta mengulangi salah satu saja pengalaman itu pasti
sudah kubilang ogah karena jujur saja
semua pengalaman itu didesain tepat pada waktu dan pelakunya. Aku sendiri
terkadang tersenyum dan terheran-heran kenapa aku bisa melalui jalan ini sampai
hari bahkan detik ini. Ajaibnya aku pun bisa menulis refleksi panjang ini.
Aku di tengah menjalani retret agung yang katanya
orang banyak merupakan puncak misteri panggilan yang akan mendobrak mata hati,
pikiran serta perilaku untuk memilih tetap setia atau tidak. Maka saatnya juga
aku terbuka untuk mengendapkan alias menep
atas status dan hidupku sebagai seorang frater. Dengan modal niat baik,
persiapan mental, baju yang banyak, bekal yang cukup serta segala perlengkapan
retret kuberanikan diri untuk maju. Tidak akan pernah membayangkan akan terjadi
apa selanjutnya (lebay).
Tanggal 8 Juli aku sampai di Yogyakarta, subuh pukul
05.30 pagi menaiki bis eksekutif dari rumahku. Di kamar tumpangan sementara di Kentungan,
aku beristirahat menata badanku yang letih kehabisan energi di jalan. Ya padahal jam 08.00 pagi aku sudah
dihadapkan pada sebuah janji. Hari ini perpisahan terakhir dengan sahabatku
Pekik, seorang mantan frater yang selalu menemaniku setiap harinya selama 6
tahun ini. Ia akan menempuh hidup barunya di sebuah tempat yang jauh yang
mungkin tidak akan kutemui lagi dalam waktu dekat ini. Maka dengan keadaan
badan yang capek sebenarnya aku langsung menyusun acara untuk peristiwa bahagia
ini.
Kami memutuskan untuk menyewa mobil dan mengadakan lava tour untuk mengisi acara kami hari
ini. Dengan bermodalkan uang seadanya kami bergembira dan mensyukuri pertemuan
kami sebagai ungkapan dukungan kami terhadap sahabatku tercinta ini. Setelah
berfoto foto dan sharing bersama
sepanjang perjalananan mendaki merapi, kami tersadar bahwa pengalaman ini
indah. Tuhan memberikan keputusan tepat pada waktunya. Dua jam perjalanan tidak
terasa lamanya, karena kami sungguh bergembira. Batinku, aku sungguh berterima
kasih padaNya karena dalam persiapanku sendiri aku juga diberi kesempatan
berharga ini.
Perjalanan
selanjutnya kami lalui jalan kami masing masing. Mas Pekik kembali ke Papua
(selamat jalan kawan), Frater Bowo, Didik dan Rhesa melanjutkan pendidikannya
ke Kentungan dan aku sendiri harus melanjutkan permenunganku untuk Retret Agung
di Giri Sonta. Kulalui perjalanan kesendirianku dengan travel di malam hari.
Aku begitu menikmati sampai aku tertidur pulas hingga perjalananku sendiri
telah memasuki Bawen. Syukurlah Tuhan tidak membuaiku tersasar sampai Semarang.
Begitu sadar aku meminta bapak supir memelankan jalan kendaraan karena sudah
masuk wilayah Bergas, daerah pelabuhan kediamanku berikutnya.
Sesampainya di tempat berbambu itu, ternyata waktu sudah
menunjukkan pukul 22. Batinku, Ah semoga
saja pintu masih dibukakan. Sambil memencet bel dan menunggu pintu dibuka kulihat
tempat ini masih sama dengan kenanganku. Kenangan yang indah membawaku pada
retret tahunan di tingkat II, empat tahun yang lalu. Retret yang menurutku juga
tidak akan kulupakan. Sejenak kulihat gedung, tembok, pintu dan bel yang sama.
Bel itu kupencet dan ternyata terbuka. Seorang pria tua bernama Pak Senen
membuka pintu itu dan tersenyum. Pak Senen mengucapkan selamat datang dan mulai
dari sinilah perjalanan rohani ini dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar