"Ih fraternya keren!"..."ih fraternya luar biasa"..."fraternya hebat"..
Seneng banget pasti rasanya... kalau tiap hari langkah dan diri kita jadi sorotan dan dipuji terus menerus. Saya berimanjinasi pasti setiap orang pasti pernah menjadi pusat perhatian dan dipuji oleh kanan dan kirinya. Apalagi kalau sudah dielu-elukan dan memiliki fansnya sendiri-sendiri.
Mengingat saat ini saya adalah bagian dari publik figur yang penuh dengan pujian sekalligus juga rawan akan berita miring kalau saya melakukan skandal di sana sini hihihihi. Hem apalagi kalau saya ini termasuk frater yang mempesona, bisa makin menjadi jadi besar kepalanya. Akan ada banyak godaan bagi saya untuk terus tampil dan memupuk diri untuk semakin terkenal. Pujian yang datang bertubi tubi ini sering didengar tidak hanya untuk saya saja tapi juga untuk frater-frater lainnya. Banyak sekali sanjungan dan berbagai hal baik yang kami terima karena kekaguman umat. Yang kalau tidak ditindaki dan diterima dengan hati hati makan kami akan dengan mudahnya menjadi geer. Karena pada akhirnya bukan karena kepribadian kami yang membuat orang terpesona tetapi karea status yang kami emban.
Jadi pada akhirnya sebenarnya sempit sekali ya kalau dipikir-pikir alasan semua kegembiraan semu ini. Umat kagum dan bangga karena menyanjung nyangjung hal lain yang bisa membuat hati ini tersesat. Dalam tema kali ini penting bagi saya mengangkat soal kebanggan dan kepercayaan diri dengan keberadaan dan hakikat saya sebagai seorang frater. Ini penting bagi diri saya karena hal ini termasuk "bagi yang berwenang" dalam panggilan saya menjadi sebuah hambatan yang berarti. Saya selama ini dinilai tidak hanya oleh staff tapi ternyata saya dengar di sekeliling saya sebagai seoarang frater yang terlalu percaya diri dan bangga dengan diri saya. Saya sendiri sebenarnya tidak merasa demikian, karena kalau saya sadar saya ini keren tentulah saya akan menjadi pribadi yang pemilih dan sombong. Munculnya pribadi ini bagi "mereka" yang menilai saya duga karena banyaknya saya sering tampil dan aktif di berbagai kegiatan yang kesannya tidak ada orang lain.
Bukannya membela diri saat ini, tapi banyak orang yang nyatanya cinta kepada saya dan menginginkan saya untuk hadir. Maka memang pada akhirnya semua terkesan saya yang ingin dan mau tidak mau saya juga harus menerima cap seperti itu. Bagi saya ini adalah wajar karena saya adalah bagian dari sebuah ikatan sosial, sebuah bentuk sistem komunitas yang sangat sensitif akan keberadaan peran seorang imam. Apalagi besok saya akan menjadi pemimpin. Pastinya peran saya akan tersirat dan jelas dibutuhkan disana sini.
Maka saya sendiri mengolah ini sebagai sebuah masukan bagi diri saya untuk tidak "menganggap" diri saya penting, Untuk juga menahan semua hasrat saya untuk tampil dan beraksi. Bukan karena akhirnya saya jadi marah dan seolah olah mutung dengan pelayanan, tapi justru mampu memerankan peran untuk saatnya membiasakan diri di belakang layar. Banyak pengolahan yang saya lakukan 3 bulan ini sampai surat ini ditulis, untuk memberikan diri sejujurnya pada bentuk pastoral "sembunyi" yang tidak kelihatan tapi membantu umat di Wedi dengan ketulusan. Seperti mengirim doa, mengunjungi yang sakit dan terluka, bahkan tidak dikenal dan sering dilihat umat. Tolak ukurnya apa? tolak ukurnya dengan komentar umat yang mengatakan " Frater sekarang kok jarang kelihatan ya". Ini sebuah kesuksesan tersendiri tentunya diluar penafsiran saya keset dan ngambek untuk aktif berkarya.
Maka tag #sayahanyafraterbiasa sebenarnya juga mau menegaskan kepada mereka yang sering menganggap saya luar biasa dan mengelu elukan potensi saya bahwa saya bukan siapa-siapa seperti yang dilebih-lebihkan itu. Juga bantuan untuk diri saya sendiri untuk menahan diri, cukuplah saya sampai disini. Tag ini juga senantiasa menyadarkan saya bahwa ada kesadaran diri untuk melatih kerendah hati. Ini adalah metode yang tepat dan secara halus bentuk penerimaan yang berulang ulang yang bisa saya lakukan pada tahap saat ini. Saya adalah seorang formandi yang harus belajar, mengeksplor, meniru dan sungguh menjadikan pengalaman tahun ini sungguh-sungguh sebagai bekal terbaik dalam panggilan imamat besok.
Romo Rubi dan Romo Kendar menegaskan berkali kali, tugas TOPer saya ini memang istimewa dan unik. Saya pun mengamini dan mencoba juga bersyukur karena kesempatan yang berharga yang mungkin tidak diberikan kepada frater lain. Kalau frater lain diminta mengeksplor pastoral yang bisa diberikan sebanyak banyaknya. Saya sebenarnya "hanya" diminta untuk mengolah diri dan punya banyak waktu membaca, menulis dan berdoa. Dilihat dari tugasnya sebenarnya menguntungkan dan enak lho, tapi kalau buat saya yang kepribadiannya "unik" ini menjadi hal yang tidak menguntungkan. Maka berbalik dari kata istimewa, luar biasa dan apapun itu. Saya hanya mau menegaskan saya ini bukan siapa-siapa. Buktinya sudah banyak, perjalanan ke sini kearah yang semakin matang ingin mengajarkan saya "kamu diliha bukan karena apa kehebatanmu, tapi mau kah kamu menyerahkan dirimu dan mengikuti aku". Sebuah bentuk keterbukaan hati, semangat hamba yang siap dibentuk kapanpun dan dimanapun. Semoga semangat ini selalu saya bawa dan mengingatkan saya. Bukan saya yang memilih tapi Ia yang memilih aku.
Kemuliaan kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus, sekarang selalu dan sepanjang segala abad.Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar