“Wuh,,,ketoke
enak banget ya meng tugas neng kana, wes parokine cilik, kegiatane sithik tur
isa dalan dalan Romone!, Umate enak neng kana, tinimbang neng kene. Aktif lan
loyal. Neng kene iki rada nyebahi tur ra isa dikongkon, payah.”
Selalu
saja ada materi dan bahan bagi semua orang untuk memudahkan mereka menjadi
pribadi yang iri dan penuh dengki. Ketika ekspetasi diri tidak sesuai dengan
harapan maka menjadi paling mudah untuk diri sendiri membandingkan dengan orang
lain. Seandainya diri ini lebih baik dari orang lain tidaklah masalah. Tapi
menjadi sangat runyam kalau orang lain lebih sukses dari diri sendiri. Saya
pernah bertanya kepada imam senior, apakah pernah ada seorang Romo yang
mengalami kecemburuan sosial dengan Romo rekannya? Entah karena masalah
pastoral, masalah tempat berkarya, “rejeki” dll. Dengan tenang Romo itu
menjawab, “Rasanya belum pernah. Kalaupun ada saya sendiri tidak pernah tahu
itu.” Dalam hati saya bersyukur, semoga hal itu tidak pernah terjadi di
kemudian hari.
Jika
demikian maka semoga ini hanya ketakutan saya saja. Ketika ada seorang rekan
sepanggilan yang merasa cemburu dengan rekan yang lain karena mereka lebih
baik, hal tersebut bisa saja malah menjadi senjata untuk menjatuhkan rekan yang
lain. Bayangkan seorang rekan yang dikirim ke Amerika karena perutusannya lalu
respon negatif berdatangan karena berita pengiriman rekan tersebut dianggap sebagai
keputusan yang tidak layak. Lalu apakah rekan saya itu salah, pantas dimusuhi?
Atau jika seorang rekan yang pintar, taat dan saleh tiba tiba dikirm tugas ke
luar jawa dan tidak menjadi petinggi. Lalu ia menjadi lebih buruk dari lainnya?
Ketika akhirnya rekan itu mundur karena tidak terima juga menjadi pertanyaan
bagi saya? Apakah akhirnya panggilan dan karya ini membutuhkan keadilan. Apakah
keadilan yang dilihat berdasarkan apa yang sudah saya lakukan, siapa saya dan
bagaimana relasi saya dengan petinggi.
Semua
kegelisahan dan penasaran yang saya miliki ini menjadi ketakutan yang tidak
beralasan. Saya sebenarnya selama ini bertanya tanya tentang bagaimana cara
pemilihan penempatan, posisi, karya, masa depan dan semua yang akan diterima
setiap imam. Apakah itu sesuai? Bagaimana Allah bekerja pada Gereja saat ini.
Pertanyaan ini akhirnya terjawab dalam sebuah gurauan Romo senior yang rupanya tahu
kegalauan saya. “Ya, mung kaya kono ya ra usah di penggalih, itu kan bukan
urusan kita tapi urusan pemimpin yang bertanggung jawab”. Seketika juga jantung
saya berbunyi jleb. Batin saya, “Iya juga ya, kenapa menjadi pikiran saya?”.
Coba dilihat ketika Petrus menanyakan nasib dirinya di masa depan dengan Yesus.
Dalam Yohanes 21:20-25,
tersirat “ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi
Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan
bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: "Tuhan, siapakah dia yang akan
menyerahkan Engkau?". Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada
Yesus: "Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?". Jawab
Yesus: "Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku
datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku."Maka tersebarlah
kabar di antara saudara-saudara itu, bahwa murid itu tidak akan mati. Tetapi
Yesus tidak mengatakan kepada Petrus, bahwa murid itu tidak akan mati,
melainkan: "Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku
datang, itu bukan urusanmu."
Dengan kata lain, setiap murid
memiliki rejeki dan nasibnya sendiri-sendiri. Saya begitu memahami ketika
Petrus merasa iri dan bertanya, bagaimana dengan yang lain. Petrus merasa tidak
terima jika Ia yang dianggap utama mengapa nasibnya begitu jelek sedangkan yang
lain tidak. Saya sendiri mungkin juga pernah merasakan, ketika “nasib” saya
terjerembab ditinggal angkatan dan merasa sakit hati. Pertanyaan yang mengiang
di telinga saya adalah “ Mengapa harus saya? Kenapa saya?” . Jawaban dari semua
pertanyaan baru bisa terjawab ketika saya menemukan perikop dan penjelasan ini.
Ketika kita disadarkan bahwa Yesus sendirilah yang berbicara. Ikutlah aku dan
jangan pedulikan yang lain, karena ini bukan urusanmu. Sebuah kelegaan yang
luar biasa untuk tetap percaya.
Yesus meyakinkan kepada kita jalan yang dipilihNya untuk kita itu
adalah unik, personal dan baik. Yesus sendiri meminta tak perlulah kita untuk mengurusi
orang lain. Maka dari pernyataan ini, saya seungguhnya telah diberikan
kerahiman untuk legawa. Saya diajak untuk menerima dan mensyukuri setiap
berkat yang saya terima, apapun bentuknya. Ketika saya mendengar rekan sepanggilan
mendapat beasiswa, perutusan atau apapun yang dahulu nampaknya membuat iri. Kini
bagi sayahal tersebut adalah sebuah tugas yang perlu kita dukung dan doakan.
Tak pernah lagi merasakan apapun selain ikut bangga dan mahayu bahagya. Belajar
dari pengalaman ini maka saya sendiri merasa lepas bebas dan sungguh dikuatkan.
Kerahiman Tuhan bersedia memberikan kesempatan kepada saya untuk kembali
dipulihkan. Maka tugas saya kemudian adalah menghantarkan berkat ini kepada
diri saya sendiri dan membagikan kepada orang lain, yang sempat terpelosok pada
hal yang sama. Seperti Petrus akhirnya mati disalib, saya yakin Ia bangga dan
rela mendapatkan anugerah sedemikan rupa karena itu adalah pemberianNya. Semoga
permenungan dan semangat kerahiman “bagi saya” ini memampukan saya untuk terus
belajar rendah hati dan menerima dengan gembira setiap perutusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar