Rabu, 27 April 2016

Kerahiman yang Membebaskan



“Wuh,,,ketoke enak banget ya meng tugas neng kana, wes parokine cilik, kegiatane sithik tur isa dalan dalan Romone!, Umate enak neng kana, tinimbang neng kene. Aktif lan loyal. Neng kene iki rada nyebahi tur ra isa dikongkon, payah.”

            Selalu saja ada materi dan bahan bagi semua orang untuk memudahkan mereka menjadi pribadi yang iri dan penuh dengki. Ketika ekspetasi diri tidak sesuai dengan harapan maka menjadi paling mudah untuk diri sendiri membandingkan dengan orang lain. Seandainya diri ini lebih baik dari orang lain tidaklah masalah. Tapi menjadi sangat runyam kalau orang lain lebih sukses dari diri sendiri. Saya pernah bertanya kepada imam senior, apakah pernah ada seorang Romo yang mengalami kecemburuan sosial dengan Romo rekannya? Entah karena masalah pastoral, masalah tempat berkarya, “rejeki” dll. Dengan tenang Romo itu menjawab, “Rasanya belum pernah. Kalaupun ada saya sendiri tidak pernah tahu itu.” Dalam hati saya bersyukur, semoga hal itu tidak pernah terjadi di kemudian hari.
            Jika demikian maka semoga ini hanya ketakutan saya saja. Ketika ada seorang rekan sepanggilan yang merasa cemburu dengan rekan yang lain karena mereka lebih baik, hal tersebut bisa saja malah menjadi senjata untuk menjatuhkan rekan yang lain. Bayangkan seorang rekan yang dikirim ke Amerika karena perutusannya lalu respon negatif berdatangan karena berita pengiriman rekan tersebut dianggap sebagai keputusan yang tidak layak. Lalu apakah rekan saya itu salah, pantas dimusuhi? Atau jika seorang rekan yang pintar, taat dan saleh tiba tiba dikirm tugas ke luar jawa dan tidak menjadi petinggi. Lalu ia menjadi lebih buruk dari lainnya? Ketika akhirnya rekan itu mundur karena tidak terima juga menjadi pertanyaan bagi saya? Apakah akhirnya panggilan dan karya ini membutuhkan keadilan. Apakah keadilan yang dilihat berdasarkan apa yang sudah saya lakukan, siapa saya dan bagaimana relasi saya dengan petinggi.
            Semua kegelisahan dan penasaran yang saya miliki ini menjadi ketakutan yang tidak beralasan. Saya sebenarnya selama ini bertanya tanya tentang bagaimana cara pemilihan penempatan, posisi, karya, masa depan dan semua yang akan diterima setiap imam. Apakah itu sesuai? Bagaimana Allah bekerja pada Gereja saat ini. Pertanyaan ini akhirnya terjawab dalam sebuah gurauan Romo senior yang rupanya tahu kegalauan saya. “Ya, mung kaya kono ya ra usah di penggalih, itu kan bukan urusan kita tapi urusan pemimpin yang bertanggung jawab”. Seketika juga jantung saya berbunyi jleb. Batin saya, “Iya juga ya, kenapa menjadi pikiran saya?”. Coba dilihat ketika Petrus menanyakan nasib dirinya di masa depan dengan Yesus. Dalam Yohanes 21:20-25, tersirat “ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: "Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?". Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus: "Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?". Jawab Yesus: "Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku."Maka tersebarlah kabar di antara saudara-saudara itu, bahwa murid itu tidak akan mati. Tetapi Yesus tidak mengatakan kepada Petrus, bahwa murid itu tidak akan mati, melainkan: "Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu." 
            Dengan kata lain, setiap murid memiliki rejeki dan nasibnya sendiri-sendiri. Saya begitu memahami ketika Petrus merasa iri dan bertanya, bagaimana dengan yang lain. Petrus merasa tidak terima jika Ia yang dianggap utama mengapa nasibnya begitu jelek sedangkan yang lain tidak. Saya sendiri mungkin juga pernah merasakan, ketika “nasib” saya terjerembab ditinggal angkatan dan merasa sakit hati. Pertanyaan yang mengiang di telinga saya adalah “ Mengapa harus saya? Kenapa saya?” . Jawaban dari semua pertanyaan baru bisa terjawab ketika saya menemukan perikop dan penjelasan ini. Ketika kita disadarkan bahwa Yesus sendirilah yang berbicara. Ikutlah aku dan jangan pedulikan yang lain, karena ini bukan urusanmu. Sebuah kelegaan yang luar biasa untuk tetap percaya.
Yesus meyakinkan kepada kita jalan yang dipilihNya untuk kita itu adalah unik, personal dan baik. Yesus sendiri meminta tak perlulah kita untuk mengurusi orang lain. Maka dari pernyataan ini, saya seungguhnya telah diberikan kerahiman untuk legawa. Saya diajak untuk menerima dan mensyukuri setiap berkat yang saya terima, apapun bentuknya. Ketika saya mendengar rekan sepanggilan mendapat beasiswa, perutusan atau apapun yang dahulu nampaknya membuat iri. Kini bagi sayahal tersebut adalah sebuah tugas yang perlu kita dukung dan doakan. Tak pernah lagi merasakan apapun selain ikut bangga dan mahayu bahagya. Belajar dari pengalaman ini maka saya sendiri merasa lepas bebas dan sungguh dikuatkan. Kerahiman Tuhan bersedia memberikan kesempatan kepada saya untuk kembali dipulihkan. Maka tugas saya kemudian adalah menghantarkan berkat ini kepada diri saya sendiri dan membagikan kepada orang lain, yang sempat terpelosok pada hal yang sama. Seperti Petrus akhirnya mati disalib, saya yakin Ia bangga dan rela mendapatkan anugerah sedemikan rupa karena itu adalah pemberianNya. Semoga permenungan dan semangat kerahiman “bagi saya” ini memampukan saya untuk terus belajar rendah hati dan menerima dengan gembira setiap perutusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar